(Pak Oce di depan kiosnya)
Ada banyak hal dalam kehidupan manusia yang berubah begitu cepat, seiring kemajuan teknologi informasi. Bisnis persewaan komik dan novel, salah satunya yang sangat tergerus oleh laju bisnis di dunia maya. Dulu, ada beberapa persewaan komik yang tumbuh di kota Jember dan kota-kota besar lainnya di seluruh pelosok negeri Indonesia. Di Jember sendiri terhitung, ada enam buah di era 1990-2000an. Kala itu, bisnis komik masih cukup menggiurkan. Komik adalah hiburan yang cukup wah, bagi generasi yang tumbuh besar di era tahun 1990-an.
Setiap entitas bisnis dituntut untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Tak terkecuali dengan bisnis persewaan komik dan novel. Setelah berdiri selama 22 tahun, TOP Komik –sebuah persewaan komik dan novel yang cukup populer di daerah kampus- dipaksa harus menyerah pada zaman.
“Kabar gembira bagi pencinta komik dan novel di Jember. TOP Komik di Jalan Jawa kini menjual ribuan koleksinya dengan harga murah banget, antara 2 ribu sampai 5 ribu. Tapi sedih juga sih TOP mau tutup.†Begitu kutipan dari salah satu warganet bernama Vindy Putri yang mengabarkan tentang akan tutupnya persewaan komik dan novel TOP yang beralamat di Jalan Jawa, Jember.
Sontak postingan yang diunggah pada 14 Juli 2017 itu langsung disambut antusias rekan-rekannya di jejaring media sosial. Sampai kabar ini ditulis postingan ini telah direspon 72 warga FB, dibagikan 19 kali dan dikomentari 41 akun. “Waktu itu aku iseng pingin sewa komik, tapi ternyata ditawarkan oleh penjaganya untuk membeli sekalian. Aku sampai kalap beli 94 jilid,†jelas alumnus Universitas Jember ini.
Persewaan novel dan komik TOP memang menjadi nama yang cukup populer di kalangan pencinta komik dan novel, terutama yang berada di sekitaran kawasan kampus Unej. Dengan lokasinya yang cukup strategis, persewaan ini menawarkan koleksi komik dan novel hingga ribuan jumlahnya.
Selang tiga minggu sejak informasi diobralnya koleksi TOP itu tersebar, Jawa Pos Radar Jember berkunjung ke kios tersebut. Tidak tampak aktivitas berarti. Hanya ada satu orang pengunjung yang melihat-lihat koleksi dan kemudian membelinya seorang perempuan yang bertugas sebagai penjaga kios.
Kios TOP komik pun sudah berpindah ke sebuah toko yang ada di sebelah kios lama. Kios yang kini ditempati berukuran lebih kecil, yakni 2,5 x 12 meter. Sedangkan kios sebelumnya berukuran 3,8 x 12 meter.
(Kiri berdiri : Pak Nyoto, pemilik TOP Jember. Kanan duduk : Pak Oce, pemilik Oce Jember)
Sunyoto Tri Wahyono, pemilik TOP ketika dikunjungi di rumahnya mengakui, rencana penutupan bisnis persewaan komik dan novel merupakan keputusan berat. Namun, itu harus dilakukan, seiring dengan perkembangan zaman. “Sayang juga sebenarnya, karena saya bisa beli rumah ini dan memulai usaha minimarket, ya dapatnya dari persewaan TOP itu,†tutur Sunyoto saat ditemui di rumahnya yang ada di kawasan Kaliurang, Jember ini.
Hingga terakhir sebelum diputuskan untuk ditutup, TOP memiliki koleksi buku mencapai 20 ribu. Sejak diumumkan tutup dan diobral, kini tersisa sekitar separonya saja.
Bahkan, seorang warga asal Kalisat ada yang memborong sebanyak 2 ribu komik dan novel dengan nilai sekitar Rp 4 juta. “Judul-judul yang laris sudah banyak diborong saat awal-awal diobral. Tapi sekarang juga masih ada yang membeli komik obralan saya ini,†tutur pria asal Banyuwangi ini.
Sunyoto mengenang, awal mula ia terjun di bisnis perbukuan ini ketika awal tiba di Jember, tahun 1993. Saat itu, setelah lulus dari sebuah SMA swasta di Banyuwangi, ia mengikuti kakak sepupunya untuk merantau bekerja di Jember. Sembari bekerja, ia juga berkuliah di STIE Mandala Jember, meski hanya sampai semester 8 dan tidak selesai.
Semula, ia bekerja sebagai loper koran, karena kakaknya memiliki usaha kios koran di daerah kampus. “Kakak saya itu seangkatan dan berteman juga dengan Pak Kholid. Dulu sama-sama memulai usaha dari loper dan agen koran,†cerita Sunyoto.
Kholid yang ia maksud adalah Kholid Ashari, pemilik Senyum Media yang dulunya juga memiliki jasa persewaan komik dan agen koran. Seiring perkembangan zaman, Senyum Media lebih dulu bertransformasi menjadi jaringan toko perlengkapan alat tulis kantor (ATK) dan berkembang menjadi salah satu grup toko ATK terbesar di Jember.
Setelah dua tahun menjadi loper koran, atas saran sang kakak, Sunyoto mulai membuka persewaan komik dan novel. Tahun 1995, saat awal membuka kios, lokasinya juga di Jalan Jawa, namun di tempat yang berbeda, yakni di dekat bundaran DPRD Jember.
“Sejak awal buka tahun 1995 sampai sekarang, sudah pindah dua kali. Lokasi yang sekarang ini yang ketiga, cuma sementara saja. Mungkin dua bulan sampai selesai diobral,†jelas Sunyoto.
Pertimbangan Sunyoto membuka persewaan komik adalah karena berada di daerah kampus yang dianggap banyak peminat literasinya. Berdirinya TOP hampir bersamaan dengan berdirinya persewaan komik lain di Jember seperti Senyum Media. Saat awal membuka, Sunyoto mengaku usahanya masih sepi hingga sempat berpikir akan tutup.
Namun saat itu ia dibantu dan dimovitasi oleh sang kekasih yang lalu ia nikahi beberapa bulan kemudian. “Istri saya memang telaten dan sabar untuk usaha komiknya. Itu yang jadi kunci. Hingga akhirnya menjadi besar setelah berjalan selama satu tahun,†tutur suami dari Wiwik Kristioningsih ini.
Usahanya mencapai puncak kejayaan sekitar tahun 2000 hingga 2010. Saat itu koleksi komik dan novelnya bisa mencapai 40 ribu buah. Akhir pekan biasanya menjadi puncak pemasukan usaha Sunyoto.
Dari usaha komik itu pula, ia bisa membeli mobil dan rumah pada 2009 setelah sebelumnya berpindah-pindah mengontrak rumah. Dan dari usaha komik pula, ia mulai merambah bisnis lain, yakni minimarket yang juga ia namakan TOP. Ia mulai merintis usaha minimarket tahun 2010, di rumahnya yang ada di kawasan Kaliurang.
Dari semula menyewa kios di dekat bundaran DPRD, Sunyoto akhirnya bisa membeli kios sendiri, masih di Jalan Jawa, yakni di kios sebelum jembatan. Ia membeli kios tersebut tahun 2004, atau 9 tahun setelah melakoni usaha persewaan. Kala itu ia membeli kios berukuran 3,8 x 12 meter dengan harga Rp 85 juta.
Selama 22 tahun menekuni usaha persewaan komik dan novel, banyak suka duka yang dialaminya. Pencurian komik atau novel dari beberapa pengunjung, sudah menjadi hal yang biasa ia alami.
“Saya biasanya kalau melihat pengunjung mencuri, tidak langsung saya tangkap, karena takut tidak yakin. Setelah dua kali, baru saya tangkap. Karena saya takut salah tuduh orang,†tutur pria kelahiran Banyuwangi, 3 November 1971 ini.
Namun, ia pernah memergoki pelaku pencurian yang cukup unik. Yakni seorang mahasiswi yang sudah akrab dengan dirinya karena sering berkunjung ke kiosnya. Tidak hanya berbincang, si mahasiswi itu juga kerap membantu Sunyoto untuk menata komik.
Namun setelah beberapa kali melihat mahasiswi itu mencuri, barulah yang terakhir ia menangkap basah perbuatan tersebut. “Saat saya tangkap, saya bawa dia ke kosannya untuk mengambil komik-komik lain yang sebelumnya dia curi,†ujar pria yang terlahir dari pasangan keluarga petani di Banyuwangi ini.
Setibanya di kamar kos si mahasiswi -setelah mendapat izin dari penjaga kos-, Sunyoto mendapat temuan yang mengejutkan. Ada sebanyak satu dus komik yang dicuri si mahasiswi, tidak hanya dari rental miliknya.
“Ternyata saya dapat keterangan dari temannya bahwa anak ini memang mengidap penyakit kleptomania atau gangguan yang membuat seseorang ingin mencuri, demi kepuasan. Bukan karena desakan materi,†kenang Sunyoto. Setiap kali memergoki pencurian, Sunyoto tidak pernah memprosesnya ke polisi. Ia hanya meminta komiknya dikembalikan dan diganti.
Pada era kejayaan komik dan novel, marak juga beredar novel stensilan dengan cerita cabul. Beberapa nama penulis yang populer kala itu seperti Enny Arrow dan Freddy (keduanya orang Indonesia) dan Nick Carter (novel terjemahan dari Indonesia).
Novel cabul tersebut, hanya bisa diperoleh lewat jalur gelap atau ilegal karena tidak memungkinkan untuk dijual di toko resmi. Meski menggiurkan, namun Sunyoto mengaku sama sekali tidak tertarik untuk membeli dan menyewakan novel tersebut.
“Memang itu pasti laris, terutama kalangan mahasiswa dan anak muda. Tapi saya tidak pernah berminat karena takut dosa,†tegas Sunyoto.
Yang menarik, Sunyoto justru tidak gemar membaca. Karena itu, ia tidak begitu mengerti dan jarang membaca komik atau novel koleksinya. Hobi membaca justru dimiliki oleh istri dan kedua anaknya.
(Contoh buku romansa terkenal era 80-an dan 90-an karya Sandra Brown yang ludes terjual)
Karena itu, setiap kali akan menambah atau memperbarui koleksinya, ia selalu meminta bantuan karyawan penjaga kiosnya. “Saat itu saya biasanya meminta saran mereka. Kebetulan ada satu yang suka baca,†tutur Sunyoto. Di masa jayanya, Sunyoto mempekerjakan empat karyawan, namun kini tersisa dua saja. Usaha persewaan komik dan novel Sunyoto mulai memasuki titik surut sejak tiga tahun terakhir. Sejak itu, pendapatannya dalam sehari maksimal hanya Rp 100 ribu.
“Itu buat biaya operasional saja tidak cukup,†tutur Sunyoto. Sejak tiga tahun terakhir itu pula, Sunyoto sudah tidak pernah lagi menambah atau memperbarui koleksinya. Perkembangan internet memang dirasakan sangat menggerus usaha persewaan komik seperti milik Sunyoto.
Jika di masa jayanya, di Jember terdapat setidaknya enam usaha persewaan komik dan novel, kini hanya tersisa dua, salah satunya adalah TOP. Selain gratis dan mudah didapat, komik bajakan yang banyak tersebar di internet juga perkembangannya lebih cepat. “Komik dan novel itu kan biasanya berseri. Nah kalau di internet itu lebih cepat updatenya daripada di toko ataupun rental. Itu penyebab utamanya kami kalah,†jelas anak ketiga dari enam bersaudara ini.
(Komik-komik yang diobral dengan harga amat murah, mulai dari Rp 2 ribu)
Karena itu, sejak dua tahun terakhir, Sunyoto mulai menawarkan kiosnya untuk dijual. Beberapa bulan lalu, ia baru mendapatkan harga yang cocok dari seorang pembeli kios. Kios TOP yang dijual itu akan dijadikan usaha penjualan pulsa telepon seluler. Beruntung, karyawannya akan direkrut di kios yang baru tersebut.
Kini, setelah melepas usaha komik yang amat ia sayangi, Sunyoto akan fokus pada usaha minimarket yang menempel dengan rumahnya di kawasan Kaliurang. Selain itu, dalam waktu dekat, ia juga akan memulai usaha penjualan aksesoris di garasi rumahnya. “Kalau aksesoris kan modalnya tidak terlalu besar. Jadi bisa lah saya mulai sekarang,†pungkas Sunyoto.
(Tampak di sebelah kiri adalah kios lama yang sudah laku terjual dan sedang proses renovasi. Sedangkan di sebelah kanan adalah kios sementara untuk menampung buku-buku yang sedang diobral)
Seiring tutupnya TOP, maka kini hanya tersisa satu rental komik dan novel di Jember. Satu-satunya rental yakni Oce komik yang ada di Jalan Kartini, kawasan Kepatihan. Suasana sepi terlihat saat Jawa Pos Radar Jember berkunjung ke kios kecil, yang berada di pinggir jalan menuju Polres Jember tersebut.
Kios itu menyatu dengan rumah milik orang tua dari Tosan Pangudi, pemilik kios Oce. “Nama panggilan saya ketika kecil sebenarnya Ulce, dari bahasa Belanda karena ayah saya berdarah Belanda. Artinya anak tersayang. Cuma karena karyawannya lidah Jawa, jadi dipanggil Oce yang itu kemudian saya jadikan nama kios saya,†tutur Oce.
Sembari ditemani alunan musik jazz dari penyanyi lawas Tony Bennett kesukaannya, Oce berkisah tentang alasannya tetap bertahan. Seperti halnya TOP, Oce juga memulai bisnis persewaan komik dan novelnya itu pada tahu 1995. “Orang bisnis itu karena dua alasan, uang atau dia menyukai jenis usaha itu. Saya lebih karena alasan yang nomor dua,†tutur pria berusia 50 tahun yang masih betah melajang ini.
(Pak Oce dalam kiosnya yang berisi sekitar 15 ribu komik dan novel, 10 ribu sisanya di rumah pribadinya di Kebonsari, karena kiosnya sudat tidak muat. Meski sepi, Pak Oce msih rajin menambah koleksinya secara rutin)
Di kawasan yang cukup ramai ini, Pak Oce memilih menyusuri jalan sunyi: bisnis persewaan buku. Keyakinannya hanya satu -yang mungkin terdengar absurd bagi banyak kalangan- "persewaan buku masih ada harapan, karena akan selalu ada orang yang membaca". Di tengah keramaian kota Jember, Pak Oce merasa nyaman menjaga kiosnya yang kini selalu sepi. Setiap hari, ia selalu setia menanti dan menemani calon penyewanya, sembari melahap seluruh koleksi bukunya, dari pagi hingga malam, nyaris setiap hari. Ditemani musik lawas, rokok dan kopi. Sendiri, karena ia hanya hidup berdua bersama ibunya yang sudah sepuh, yang tinggal di belakang kiosnya.
Tak sekedar komik, dalam perbincangan, ia dengan antusias menceritakan pelbagai hal yang baca dari buku-buku seputar bisnis, psikologi dan sejarah politik. Pak Oce memang gemar membaca buku di bidang-bidang itu.
Selain TOP, ada juga Senyum Media yang beroperasi di Jalan Kalimantan sekitar daerah Kampus Unej. Senyum media yang dimiliki Pak Kholid Ashari barangkali merupakan contoh sebuah usaha yang dirintis dari bawah. Pak Kholid mendirikan Senyum bersama adiknya, Pak Abdul Kholik tumbuh besar dan kemudian mampu dengan cepat dan tepat beradaptasi dengan perubahan zaman. Ketika era komik mulai menunjukkan tren menurun, ia dengan lihai bertransisi ke lini bisnis lain yang tidak terlalu berbeda jauh.
Kebetulan ketika saya kecil, rumah kami masih satu kelurahan, sehingga sesekali saya sering menjumpainya di jalan ketika masih merintis usaha tersebut. Semuanya berawal dari loper koran, lantas tumbuh besar dan bertransisi. Di awal tahun 2000an merambah pengadaan di instansi-instansi. Hingga akhirnya tahun ini dapat membangun Senyum Media Plasa di Jalan Trunojoyo (lokasi sebelum gedung Gramedia). Modal "nekat" pinjam uang di bank hingga milyaran rupiah, kini telah menjadi perusahaan besar di Jember dengan kepemilikan aset mall senilai 13 Milyar rupiah. Sebuah prestasi besar di tengah sulitnya pasar dan perekonomian di Indonesia, khususnya kota Jember.
(Kios Senyum Media di sekitar awal tahun 1990an, dikenal sebagai usaha koran/majalah dan sewa komik/novel)
Senyum Media adalah contoh sukses sebuah transisi bisnis. Nasib berbeda dialami persewaan komik yang lain. Sebuah usaha keluarga yang bisa memahami dengan baik, cara memisahkan antara sisi idealisme dan sisi pragmatisme dalam berbisnis. Postingan ini adalah sekelumit cerita dari sisi lain seputar matinya bisnis persewaan komik di Jember.
Itulah sedikit cerita dari kota Jember yang menunjukkan begitu dahsyatnya efek dari perkembangan zaman dan persaingan usaha. Tidak menutup kemungkinan cerita serupa terjadi di kota-kota lain di pelosok Indonesia. Bisa jadi menyerang pada segmen usaha yang serupa atau mungkin usaha dalam bentuk lain.
Tahun lalu kita pernah mendengar banyaknya terjadi gesekan antara pengendara ojek konvensional dengan ojek online. Terakhir kita dihebohkan berita perusahaan jamu berskala besar yang dinyatakan pailit. Sebelumnya mungkin kita pernah mendengar jatuhnya raksasa telepon seluler macam Nokia dan dijualnya raksasa penyedia jasa surat elektronik macam Yahoo.
Begitu banyak cerita menunjukkan bahwa dunia terus berubah, seiring dengan perkembangan inovasi dan teknologi. Sekarang tinggal kita siap dan mampu memanfaatkan perubahan tersebut, atau sebaliknya malah tidak siap dan justru digilas oleh perubahan tersebut. So, Sobat100 dari berita ini tim100 mengingatkan kembali, terus lakukan inovasi, tingkatkan kreativitas dan manfaatkan perkembangan teknologi yang ada. Jadilah winner dan jangan sampai menjadi loser.
Salam100
KONTRIBUTOR : M. Faizin Adi
merupakan lulusan IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Pernah sebagai wartawan berita di salah satu stasiun TV berskala nasional, Jakarta. Dan kini aktif menjadi wartawan surat kabar lokal di daerah Jember, Jawa Timur. (Liputan ini sebelumnya dimuat di surat kabar harian Radar Jember, selengkapnya di sini)
Komentar berhasil disembunyikan.