Berbicara korelasi artinya kita bicara soal keterkaitan atau lebih tepatnya hubungan. Antara cinta dan matematika bagi sebagian besar populasi insan di muka bumi ini bagaikan air dan minyak,, susah menyatu. Anggapan matematika itu sulit, matematika itu membosankan, matematika itu menakutkan sudah menjalar ke otak bawah sadar sebagian siswa. Sehingga perlu adanya tindakan sadar dari tenaga pendidik atau pengajar untuk berfikir kreatif dalam menuangkan cairan cairan ilmu matematika ke dalam gelas kosong yang ada pada diri peserta didik sekarang ini. Kreatif tak selalu tentang penemuan hal hal baru ataupun metode baru, tetapi cara lama-pun ketika disampaikan dengan feel atau suasana hati yang baru, maka akan menumbuhkan hasil yang berbeda. Hasil yang berbeda artinya proses penciptaannya pun juga  berbeda, dan orang yang memiliki daya cipta itulah yang disebut orang kreatif. Seperti ungkapan Marcel Proust yang mengatakan bahwa, “Penemuan sejati bukanlah menemukan tempat-tempat baru, melainkan melihat dengan cara baru.â€[1]

Yang jadi pertanyaan sekarang, hasil berbeda yang seperti apakah yang ingin kita jadikan tujuan? Apakah hasil yang lebih baik? Pastinya semua orang akan menjawab iya, tetapi penekanan pertanyaan tersebut bukanlah di situ. Akan tetapi, lebih kepada siapkah kita sebagai seorang pendidik atau pengajar untuk menyiapkan amunisi pembelajaran yang dapat melumpuhkan rasa kejenuhan siswa terhadap matematika? Atau teruntuk sebagian siswa, siapkah kita untuk  menyingkirkan rasa malas yang sering kali datang menghantui, tatkala dihadapkan oleh guru kita tentang permasalahan-permasalahan matematika? Jawaban pertanyaan tersebut hanya kita yang tau, dan satu hal yang harus digarisbawahi bahwa apapun jawaban kita, itu adalah jawaban yang benar.

Seperti sebuah kisah pada suatu perusahaan berikut, suatu hari dua orang manajer pemasaran suatu pabrik sepatu ditugasi oleh Direksi untuk mengkaji kemungkinan perluasan penjualan di suatu kota. Kedua manajer itu diberi waktu 3 hari penuh kemudian melaporkan hasil kajian mereka pada hari kedua, manajer A melapor, “Di kota itu tidak ada prospek buat sepatu. Payah. Penduduknya sebagian besar tidak memakai sepatu.†Menjelang hari ketiga, manajer B yang melaporkan hasil kajiannya, “Wah… luar biasa hebat Pak, prospek besar sekali di sana. Masih banyak peluang kebutuhan sepatu…†[1]

Kedua manajer itu berbeda pola pikir (mindset) dan hal itu jamak. Karena “kebenaran†adalah suatu relativitas. Seperti dikatakan Hendry Ford, “Bila Anda berpikir Anda bisa, Anda benar. Bila Anda berpikir tidak bisa, Anda pun benar†[1]. Ketika terlontar jawaban bahwa kita tidak siap, maka kecenderungan untuk menolak suratan rumus matematika dari sumber belajar pun juga akan semakin besar. Hal itu akan berlaku sebaliknya jika, kesiapan yang dirasakan siswa semakin matang, seiring berjalannya waktu, rasa penasaran atau rasa ingin tahu mereka akan tumbuh secara perlahan maupun signifikan. Beranjak dari ketidak siapan, tidak harus langsung meloncat ketingkat kecintaan yang mendalam terhadap suatu objek pembelajaran, tetapi rasa ingin tahu merupakan sebuah batu loncatan yang bagus untuk langkah awal dalam memasuki dunia pembelajaran khususnya mata pelajaran matematika.

Kata banyak orang, benci dan cinta itu hanya dipisahkan oleh sehelai benang tipis, tetapi dalam matematika, benang tipis itu bak besi kokoh yang menjalar panjang dan sulit untuk dipatahkan. Semakin benci seseorang dengan matematika, maka selamanya ia tak akan pernah mengenal betapa indahnya teka-teki permasalahan yang ada pada kasus matematika. Rasa benci yang mendalam itu harus segera dikikiskan dari diri mereka yang masih mau untuk belajar.

Bagi seorang siswa, untuk menumbuhkan rasa jatuh cinta terhadap matematika, tidak harus menunggu datangnya petuah-petuah dari sang guru, tidak harus menunggu ketika kita diundang untuk menghadiri acara seminar matematika, dan bagi seorang guru pun, menghadirkan kecintaan dalam proses penyampaian sederet rumus matematika juga tidak harus menunggu adanya rapot buruk dari siswa terlebih dahulu, karena begitu tiba di ‘depan’, kita semua akan menunggu sesuatu yang lain.      

Menunggu sebagai suatu sikap hidup ,bukanlah sikap hidup yang positif. Menunggu merupakan suatu sikap pasif, bukan sikap proaktif yang dianjurkan sebagai manusia pembelajar yang efektif. Jangan sia-siakan waktu dengan menunggu, apa pun kondisinya, seperti kutipan anjuran yang terdapat dalam buku The Answer of Love :

“Jangan menunggu senyuman, baru berbuat baik.

Jangan menunggu dicintai , baru mencintai.

Jangan menunggu  kesepian datang, baru mau menghargai.

Jangan menunggu mendapatkan banyak, baru mau berbagi.

Jangan menunggu kegagalan datang, baru belajar dari nasihat-nasihat.

Jangan menunggu kesulitan muncul, baru percaya dengan doa.

Jangan menunggu dilayani, baru mau melayani.

Jangan menunggu orang lain terluka, baru mau minta maaf.

Jangan menunggu…

Karena kita tak akan pernah tahu berapa lama waktu yang masih kita miliki…†      

Ketika kita sudah berani untuk memulai dengan langkah-langkah kecil dalam menyelami mata pelajaran matematika, percayalah bahwa sesuatu yang besar telah menanti di depan kita. Jangan sampai kita mengabaikan hal-hal kecil, seperti ungkapan ilmuan ternama Albert Einstein “Siapa yang acap kali mengabaikan hal-hal kecil, tak layak dipercaya untuk hal-hal besar.â€[1]

Terkadang ada hal-hal spele yang justru merubah pola pandang hidup kita dari yang tadinya tidak suka menjadi cinta, ada contoh cerita klasik yang mungkin dapat menggambarkan kondisi ini. Suatu hari, Polan, seorang siswa sekolah dasar di salah satu daerah terpencil sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelasnya. Suasananya yang masih tenang membuat proses belajar Polan dan teman-temannya berjalan secara kondusif setiap harinya. Polan adalah siswa yang biasa saja, bahkan ia tidak menyukai beberapa mata pelajaran seperti ipa dan matematika, sehingga acap kali ia menjadi langganan posisi nilai terbawah di kelasnya.

Sampai suatu saat, Pak Badu, guru matematika di sekolah tersebut sedang mengajar materi perkalian dan pembagian di kelas Polan. Setelah selesai menyampaikan materi, dan dirasa semua siswa sudah paham akan materi yang disampaikan, tibalah saatnya seperti biasa, Pak Badu menunjuk secara acak siswa di kelas untuk menjawab pertanyaan seputar materi perkalian dan pembagian. Karena pertanyaan pertama, maka Pak Badu bertanya dengan tingkat kesulitan yang rendah terlebih dahulu, “Berapa, hasil perkalian dari 7 dikali 6 ?, Polan ?†spontan terlontar nama Polan untuk menjawab, namun apa daya, walaupun pertanyaannya masih mudah, Polan hanya bisa terdiam sambil terus berpikir, tak mau merasa malu, ia pun mencoba menjawab sekenanya “13 pakâ€. Sontak seluruh siswa mengetawakan jawaban Polan, malu bukan main, alhasil Polan jadi bully-an teman-teman di kelasnya. Melihat kejadian itu, Pak Badu tidak tinggal diam, seusai pulang sekolah, Pak Badu menemui Polan dan meminta ia untuk mengerjakan soal di selembar kertas yang berbunyi “(7x8) + (36:9) + (4x6) = …â€, Pak Badu hanya pesan tolong kamu selesaikan ini di rumah dan kamu ingat jawabannya betul-betul.

Sesampainya di rumah Polan kerjakan apa yang diminta oleh Pak Badu. Seminggu kemudian pada jam pelajaran matematika, Pak Badu memulai pelajaran dan menanyakan secara lisan “anak-anak, siapa yng bisa menjawab pertanyaan bapak ini dengan cepat, bapak kasih tambahan nilai, pertanyaannya, 7 dikali 8, ditambah 36 dibagi 9, ditambah 4 dikali 6 berapa?†sontak anak-anak sekelas pada sibuk menghitung, tetapi berhubung Polan ingat betul dengan soal itu, ia pun menjawab dengan lantang “74 pak!â€, akhirnya sorak-sorai pujian terhadap Polan pun membanjiri suasana belajar kala itu. Senang sekali rasanya kata Polan dalam hati. Seusai kejadian tersebut, Polan mulai menyukai dunia matematika, dari yang tadinya malas, ia ubah menjadi rasa penasaran terhadap soal-soal matematika. Hal ini tak lepas dari andil Pak Badu yang begitu paham caranya merubah Polan dari yang tadinya tidak suka menjadi cinta dengan belajar matematika.

Terakhir, setelah kita bisa memulai untuk melepaskan ego malas dari diri kita, mulailah dengan hal-hal kecil untuk mencintai goresan-goresan rumus matematika, dengan cara (salah satunya) menimbulkan rasa ingin tahu terhadap setiap permasalahan yang kita hadapi. Kemudian lakukan setiap tahapnya dengan rasa antusiasme yang tinggi dalam belajar, karena “Tidak ada suatu kehebatan yang diciptakan tanpa antusiasme,†Albert Einstein [1]. Maka, dengan langkah-langkah tersebut, seiring berjalannya waktu kecintaan terhadap matematika khususnya akan timbul dari dalam diri kita.

Daftar Pustaka

[1] Pamungkas, Pongki. 2013. The Answer is Love : A Life and Management Wisdom. Jakarta : Kompas Gramedia (Elex Media Komputindo).

Catatan Editor

Alif Rohma Nuryanto adalah seorang Guru Matematika SMA Sinotif Kemang Pratama. Pria asal Sragen ini merupakan lulusan Universitas Sebelas Maret