Jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 ke tangan Sultan Muhammad Al Fatih, menyebabkan terputusnya jalur perdagangan antara Eropa dan Asia. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis rempah-rempah di daratan Eropa.

Krisis rempah dan perkembangan teknologi maritim yang terjadi di benua Eropa menjadi latar belakang penjelajahan samudra yang dipelopori oleh Portugis dan Spanyol. Tentu seperti kita ketahui motif pejelajahan samudra ini berkembang menjadi motif penjajahan bangsa Barat terhadap bangsa Timur.

Adalah Alfonso de Albuquerque yang pada tahun 1511 berusaha untuk menguasai selat Malaka. Tentu saja hal ini mendapat perlawanan dari kesultanan Malaka yang juga mendapat bantuan dari Kesultanan Demak dengan dikirimkannya Adipati Yunus atau Pangeran Sabrang Lor ke Malaka.

Namun perang yang dipicu karena Portugis ingin menguasai selat Malaka ini menyebabkan jatuhnya jalur perdagangan strategis di Nusantara itu ke tangan Portugis. Pangeran Sabrang Lor gugur dalam peperangan ini pada tahun 1521

Tak hanya itu, Portugis juga menyerbu kerajaan Samudra Pasai sehingga berakhirlah riwayat Kerajaan Islam pertama di Indonesia ini pada tahun 1523.

Untuk memperoleh pasokan rempah-rempah yang cukup, Portugis mengadakan perjanjian dengan Prabu Surawisesa dari Pajajaran. Dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa Pajajaran mengizinkan Portugis untuk membangun benteng-benteng di Pelabuhan Banten dan Kalapa.

Padrao perjanjian Prabu Surawisesa dengan Portugis. Koleksi Museum Nasional

 

Melihat sepak terjang Portugis sebelumnya -terutama di Malaka dan Samudra Pasai- hal ini sangat mengkhawatirkan Sultan Trenggono dari Demak. Apabila Banten dan Kalapa sampai dikuasai oleh Portugis, maka nusantara akan benar-benar takluk di bawah kekuasaan negeri penjajah tersebut.

Adalah Fadillah Khan, putra Samudra Pasai yang meninggalkan negerinya setelah Kesultanan itu diluluhlantakkan oleh Portugis. Dia kemudian berhijrah ke Demak. Di Demak ia menjadi Senopati Perang karena kepiawaiannnya dalam olah keprajuritan. Tentu dialah yang diutus Sang Sultan untuk menangani masalah Banten dan Kalapa.

Fadillah Khan yang di Demak dipanggil dengan sebutan Wong Agung Pase (karena berasal dari Pasai) menikah dengan janda mendiang Pangeran Sabrang Lor yang bernama Ratu Ayu. Selain itu juga menikah dengan Ratu Pembayun putri Raden Patah.

Ratu Ayu ini adalah putri dari Sunan Gunung Jati seorang tokoh penyebar agama Islam di tanah Sunda. Yang banyak disalahpahami sebagai Fatahillah. Padahal antara Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah dua orang yang berbeda.

Sunan Gunung Jati bernama asli Syarif Hidayatullah adalah putra Ratu Rara Santang dari Pajajaran. Jadi Sunan Gunung Jati adalah masih cucu dari Prabu Siliwangi. Tentu saja masih kemenakan Prabu Surawisesa yang mengadakan kerjasama dengan Portugis.

Penyerbuan Fadillah Khan yang didampingi oleh putra Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana Hasanuddin dan pasukan Cirebon ke Banten telah membuat pasukan Pajajaran kerepotan. Akhirnya Banten dapat dikuasai dan berdirilah kerajaan Banten dengan Maulana Hasanuddin sebagai Sultan pertamanya. Kejadian ini bertarikh 1526.

Fadillah Khan kemudian membawa pasukannya ke Kalapa untuk mengusir Portugis dari sana. Tentu ini adalah pertempuran yang sangat hebat karena pasukan Portugis mendapatkan tambahan 6 kapal perang dari Goa India.

Namun dengan semangat yang tak kenal menyerah, akhirnya pada tanggal 22 Juni 1527 Portugis dapat diusir dari dari pelabuhan Kalapa.

Semenjak hari itu, untuk mengingat kemenangan yang gemilang ini, maka nama Kalapa diubah menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan yang nyata. Sementara nama Fadillah Khan berganti menjadi Fatahillah yang artinya kemenangan dari Allah.

Sejak hari itu pula Fatahillah menjadi Adipati Jayakarta yang berada di bawah Kesultanan Demak. Beliau mulai membangun kota Jayakarta sampai 1570 untuk selanjutnya dilanjutkan oleh menantunya Pangeran Tubagus Angke.   

Selamat Hari jadi Jakarta yang ke-490