Halo Sobat100, kembali tim100 menyapa kalian semua. Kali ini tim100 membahas kejadian yang telah ramai di masyarakat selama seminggu ini. Seperti yang kita ketahui bersama Bulan November di Indonesia telah memasuki musim penghujan, dan diprediksi intensitasnya meningkat pada bulan Desember hingga pergantian tahun 2018. Selain bencana banjir yang senantiasa menghantui masyarakat, berbagai penyakit sering muncul seiring meningkatnya intensitas terjadinya hujan. Di Indonesia, dalam 1 tahun telah terjadi hampir 1000 kasus penyakit Leptospirosis. Terakhir di Surabaya, 1 keluarga dinyatakan positif mengidap penyakit Leptospirosis, bahkan sampai ada korban jiwa. Apa itu Leptospirosis ? Apa penyebabnya ? Bagaimana cara menanggulanginya ? Untuk lebih jelasnya simak penjelasan berikut ini.

Dikutip dari laman wikipedia.org,

Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis).[3] Leptospirosis dikenal juga dengan nama Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd's, Demam pesawah (Ricefield fever), Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah, Penyakit Stuttgart, Demam Canicola [4], penyakit kuning non-virus, penyakit air merah pada anak sapi, dan tifus anjing[3]

Infeksi dalam bentuk subakut tidak begitu memperlihatkan gejala klinis, sedangkan pada infeksi akut ditandai dengan gejala sepsis, radang ginjal interstisial, anemia hemolitik, radang hati dan keguguran. [2]. Leptospirosis pada hewan biasanya subklinis [5]. Dalam keadaan ini, penderita tidak menunjukkan gejala klinis penyakit [5]. Leptospira bertahan dalam waktu yang lama di dalam ginjal hewan sehingga bakteri akan banyak dikeluarkan hewan lewat air kencingnya [5]. Leptospirosis pada hewan dapat terjadi berbulan-bulan sedangkan pada manusia hanya bertahan selama 60 hari[5]. Manusia merupakan induk semang terakhir sehingga penularan antarmanusia jarang terjadi. [5].

Sejarah

Berkas:Leptospira scanning micrograph.jpg
Bakteri Leptospira menggunakan Mikroskop elektron tipe scanning. (Sumber gambar : CDC/ Rob Weyant)

Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. [6] Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's Disease.[butuh rujukan] Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. [6]

Etiologi

Berkas:Leptospiradendrogram.PNG
Berbagai serovar Leptospira (Sumber gambar : Kmetyi1)

Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. [3][7][5]. Bakteri Leptospira merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat [7]. Bakteri Lepstospira berukuran panjang 6-20 µm dan diameter 0,1-0,2 µm[3]. Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 µm [7]. Jadi, ukuran bakteri ini relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop cahaya dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras [7]. Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur [3].

Leptospira mempunyai ±175 serovar [2], bahkan ada yang mengatakan Leptospira memiliki lebih dari 200 serovar [7]. Infeksi dapat disebabkan oleh satu atau lebih serovar sekaligus [2]. Bila infeksi terjadi, maka pada tubuh penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi [3]. Leptospirosis pada anjing disebabkan oleh infeksi satu atau lebih serovar dari Leptospira interrogans [2]. Serovar yang telah diketahui dapat menyerang anjing yaitu L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L. batislava, L. canicola, L. grippotyphosa, L. hardjo, L. ichterohemorarhagica, L. pomona, dan L. tarassovi [2][5]. Pada anjing, telah tersedia vaksin terhadap Leptospira yang mengandung biakan serovar L. canicola dan L. icterohemorrhagica yang telah dimatikan [2]. Serovar yang dapat menyerang sapi yaitu L. pamona dan L. gryptosa[5]. Serovar yang diketahui terdapat pada kucing adalah L. bratislava, L. canicola, L. gryppothyphosa, dan L. pomona [2]. Babi dapat terserang L. pamona dan L. interogans, sedangkan tikus dapat terserang L. ballum dan L. ichterohaemorhagicae [5].

Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps menjadi bola berbentuk kubah dan tipis [7]. Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki aktifitas patogenik [7]. Leptospira dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang lembap, tanaman dan lumpur.[8]

Distribusi penyakit

Leptospirosis terjadi di seluruh dunia,[9] [8] baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis [9]. Penyakit ini terutama beresiko terhadap orang yang bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan, dan personel militer [9]. Selain itu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu yang terpapar air yang terkontaminasi [6][9]. Di daerah endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan banjir.[9].

Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis.[6] Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat. [10]. Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per tahun [11]. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Oraganization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang setiap tahun.[9] Pada saat wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi.[9]

Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat [12]. Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45 persen [12]. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56 persen [12]. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3 persen - 54 persen tergantung sistem organ yang terinfeksi [13].

Cara Penularan

Berkas:Rat noir.jpg
Urin tikus merupakan sumber penularan Leptospirosis (Sumber gambar : Rathater)

Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne disease)[9][3]. Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan [5]. Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru [7]. Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir [8]. Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah induk semang [7].

Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir [14] [15]. Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak [15]. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. [14]. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis [14] karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi [16]. Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus [14].

Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita dan tidak langsung melalui suatu media [3][5]. Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva) [5], kontak luka di kulit, mulut, cairan urin [9], kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan) [3]. Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi [9].

Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh[5]. Kejadian Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira[5]. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam [5].

Perjalanan Penyakit

Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan jaringan [14]. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan hati [5].

Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular (kematian tubuli ginjal) [5]. Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler [14]. Gangguan hati berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer [14]. Pada konsisi ini akan terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati [5]. Leptospira juga dapat menginvasi otot skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal [14]. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi [14].

Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang pada pembuluh darah [5]. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang [14]. Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan tahun[5].

Gejala Klinis

Berkas:Jaundiced cat.jpg
Jaundis pada kucing: telinga dan mukosa mata menjadi kuning (Sumber gambar : Sabar)

Pada hewan, Leptospirosis kadangkala tidak menunjukkan gejala klinis (bersifat subklinis), dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun sebenarnya dia sudah terserang Leptospirosis [5]. Kucing yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan gejala walaupun ia mampu menyebarkan bakteri ini ke lingkungan untuk jangka waktu yang tidak pasti [2].

Gejala klinis yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yakni warna kekuningan, karena pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada hemoglobin dalam urin [3]. Gejala ini terjadi pada 50 persen kasus, terutama jika penyababnya L. pomona [3]. Gejala lain yaitu demam, tidak nafsu makan, depresi, nyeri pada bagian-bagian tubuh [3], gagal ginjal, gangguan kesuburan, dan kadang kematian [5]. Apabila penyakit ini menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala yang timbul yaitu radang mukosa mata (konjungtivitis), radang hidung (rhinitis), radang tonsil (tonsillitis), batuk dan sesak napas [2].

Pada babi muncul gejala kelainan saraf, seperti berjalan kaku dan berputar-putar [3]. Pada anjing yang sembuh dari infeksi akut kadangkala tetap mengalami radang ginjal interstitial kronis atau radang hati (hepatitis) kronis [2]. Dalam keadaan demikian gejala yang muncul yaitu penimbunan cairan di abdomen (ascites), banyak minum, banyak urinasi, turun berat badan dan gejala saraf[2]. Pada sapi, infeksi Leptospirosis lebih parah dan lebih banyak terjadi pada pedet (anak sapi) dibandingkan sapi dewasa dengan gejala demam, jaundis, anemia, warna telinga maupun hidung yang menjadi hitam, dan kematian (Bovine Leptospirosis).[17]. Angka kematian (mortalitas) akibat Leptospirosis pada hewan mencapai 5-15 persen, sedangkan angka kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75 persen [3].

 

Berkas:Jaundice08.jpg
Jaundis: kulit dan mukosa menjadi kuning (Sumber gambar : James Heilman, MD)

Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari [14]. Infeksi Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa [14]. Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat [18], Hampir 15-40 persen penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif [14]. Sekitar 90 persen penderita jaundis ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil [14]. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan fase imun [14][5]. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik [14]. Selain itu ada Sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi Leptospirosis yang berat. [14]

Fase Septisemik

Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh [14]. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot [5]. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan hati [14].

Fase Imun

Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis [14]. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi [14]. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal [14].

Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit kepala [5]. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati [14]. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit bernapas.[5] Gangguan hematologi berupa peradarahan dan pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis [14]. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun [14].

Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis [5]. Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan [5]. Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen pasien [5].

Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi [14]. Sebanyak 83 persen penderita infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona [14]. Infeksi L. grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Sedangkam L. pomona atau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis) [14].

Sindrom Weil

Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan [5]. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu [14]. Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas [5]. Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal [14]. Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang akan meningkat pada lanjut usia. [14]

Diagnosa

Berkas:Leptospirosis in kidney.jpg
Bakteri Leptospira secara mikroskopis pada jaringan ginjal menggunakan metode pewarnaan perak (Sumber gambar : CDC/Dr. Martin Hicklin)

Untuk mendiagnosa Leptospirosis, maka hal yang perlu diperhatikan adalah riwayat penyakit, gejala klinis dan diagnosa penunjang [5][19][14]. Sebagai diagnosa penunjang, antara lain dapat dilakukan pemeriksaan urin dan darah [19]. Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk mendiagnosa Leptospirosis karena bakteri Leptospira terdapat dalam urin sejak awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ketiga [19]. Cairan tubuh lainnya yang mengandung Leptospira adalah darah, serebrospinal [19] tetapi rentang peluang untuk isolasi bakteri sangat pendek [14]. Selain itu dapat dilakukan isolasi bakteri Leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita, misalnya jaringan hati, otot, kulit dan mata. Namun, isolasi Leptospira termasuk sulit dan membutuhkan waktu beberapa bulan [14].

Untuk mengukuhkan diagnosa Leptospirosis biasanya dilakukan pemeriksaan serologis [19]. Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala klinis [19]. Kultur atau pengamatan bakteri Leptospira di bawah mikroskop berlatar gelap umumnya tidak sensitif [19]. Tes serologis untuk mengkonfirmasi infeksi Leptospirosis yaitu Microscopic agglutination test (MAT) [5]. Tes ini mengukur kemampuan serum darah pasien untuk mengagglutinasi bakteri Leptospira yang hidup [18]. Namun, MAT tidak dapat digunakan secara spesifik pada kasus yang akut, yakni kasus yang terjadi secara cepat dengan gejala klinis yang parah [19]. Selain itu, diagnosa juga dapat dilakukan melalui pengamatan bakteri Leptospira pada spesimen organ yang terinfeksi menggunakan imunofloresen [19].

Pengobatan dan pengendalian

Pada Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan perawatan intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan mengoptimalkan perawatan.[20] Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin.[20] Selain itu diperlukan terapi suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan infus.[20]

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira.[20][3] Vaksin Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis.[3] Vaksin Leptospira pada anjing yang beredar di Indonesia terdiri atas dua macam serovar yaitu L. canicola dan L. ichterohemorrhagiae.[3] Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat anjing berumur 12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16 minggu.[20] Sistem kekebalan sesudah vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap enam bulan.[20]

Pada Manusia, Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin.[5]

Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus mewaspadai cemaran urin dari semua hewan.[5] Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya.[3] Manusia yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan di mana hewan berada.[5]

Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini.[6] Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis.[15] Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air.[3] Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber air.[3]

 

Terakhir tim100 mengingatkan kepada Sobat100 untuk waspada terhadap semua penyakit. Musnahkan jika ada tikus yang mati (sebaiknya dibakar). Cuci tangan sebelum makan. Bersihkan seluruh tubuh menggunakan sabun sehabis bepergian atau keluar rumah. Jaga Kesehatan. Dan Konsumsi makanan yang bergizi dan seimbang.

Salam100

Daftar Pustaka

  1. The Leptospirosis Information Center. 2009. Serological classification and grouping. http://www.leptospirosis.org/serovars.php
  2. Subronto. "1". Di Nunung Prajanto. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing (1 ed.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. pp. 188–192. ISBN 979-420-611-3.
  3. Dharmojono. "1". Leptospirosis-Antthrax-Mulut dan Kuku-Sapi Gila, Waspadailah Akibatnya! (1 ed.). Jakarta: Pustaka Populer Obor. pp. 1–10. ISBN 979-461 397-5.
  4.  Bahagian Pendidikan Kesihatan Kemintrian Kesihatan Malaysia. 2008. Penyakit Dewasa Leptospirosis.
  5. Yuliarti, Nurheti. "1". Di Agnes Heni Triyuliana. Hidup Sehat Bersama Hewan Kesayangan (1 ed.). Yogyakarta: Andi Offset. pp. 243–250. ISBN 979-763-842-1.
  6. Priyanto,, Agus; Soeharyo Hadisaputro, Ludfi Santoso,Hussein Gasem, Sakundarno Adi. 2008. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kabupaten Demak). Program Magister Epidemiologi Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
  7. The Leptospirosis Information Center. 2009. Overview of the leptospira bacterium itself. http://www.leptospirosis.org/bacteria/
  8. Directors of health Promotion and Education. Leptospirosis
  9. WHO. 2001. Leptospirosis Burden Epidemiology Reference Group (LERG). World Health Organization. Diakses tanggal 2010-04-15.
  10. Hatta M (Maret 2002). "Detection of IgM to Leptospira Agent with ELISA ang Leptodipstick Method". Jurnal Kedokteran dan Kesehatan FK Universitas Tarumanegara 1.
  11. Bovet P. 1999. "Factor Assosiated with Clinical Leptospirosis, A Population Based Control Study in Seychelles". American Journal Tropical Medicine and Hygiene: 583–590.
  12. Widarso HS dan Wilfried. 2002. "Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia". Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
  13. Esen Saban. 2004. "Impact of Clinical and Laboratory Findings on Prognosis in Leptospirosis". Swiss Medical Weekly: 347–352.
  14. Widodo Judarwanto (Agustus 2009). Leptospirosis pada Manusia. Jakarta: Allergy Behaviour Clinic, Picky Eaters Clinic (Klinik Kesulitan Makan) Rumah Sakit Bunda. Diakses tanggal 2010-04-18.
  15. Mari Okatini, Rachmadhi Purwana, I Made Djaja (2007 Juni). Hubungan Faktor Lingkungan dan Karakteristik Individu terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis di Jakarta, 2003-2005. Makara, kesehatan. 1 (Jakarta) 11: 17–24.
  16. Farida Dwi Handayani dan Ristiyanto. Rapid assessment Inang Reservoir Leptospirosis di Daerah Pasca Gempa Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Jakarta: Litbang Departemen Kesehatan.
  17. "Bovine Leptospirosis" (PDF). Texas Agriculture Extension Service. Diakses tanggal 2010-04-20.
  18. A. Ebrahimi, L. Alijani, G R Abdollahpour (June 2003). Serological Survey of Human Leptospirosis in tribal Areas of West Central Iran. IJMS. 2 Volume 28.
  19. Stoddard, Robyn; Sean V. Shadomy (2009-07-27). Other Infectious Diseases Related to Travel: Leptospirosis. Centers for Disease Control and Prevention. .
  20. Eldredge, Debra M; Eldredge, Liisa D. Carlson, Delbert G. Carlson, James M. Giffin. "1". Di Beth Adelman. Dog owner’s Home Veterinary Handbook (dalam bahasa english) (4th ed.). Hoboken: Willey Publishing Inc. pp. 66–67, 96. ISBN 978-0-470-06785-7.