Hallo Sobat100,

Time to study history sobat100, pada tanggal 30 September 1965, tepatnya 54 tahun yang lalu terjadi sebuah skenario pembunuhan yang paling misterius dalam catatan sejarah bangsa Indonesia. Pada tanggal 30 September 1965 malam, atau lebih tepatnya 1 Oktober dini hari, 6 Perwira Tinggi Militer Indonesia diculik dan kemudian dibunuh secara misterius. Peristiwa bersejarah ini sering disebut dengan nama G30S/PKI. Peristiwa tersebut begitu mempengaruhi nasib jutaan masyarakat Indonesia, dari mulai peralihan transisi kekuasaan, posisi kebijakan luar negeri Indonesia terhadap konflik besar dunia pada saat itu, serta penangkapan dan pembunuhan masal selama puluhan tahun.

Sobat100, setalah peristiwa bersejarah tersebut terjadi setiap tanggal 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Pemberontakan G30S/PKI. Kita sebagai generasi milenial yang tidak mengalami peristiwa tersebut secara langsung. Kita perlu untuk mengetahui peristiwa G30S/PKI yang sangat bersejarah untuk Indonesia, dengan adanya artikel ini sobat100 bisa mengetahui atau mengingatkan kembali bagaimana kejadian 54 tahun yang lalu itu terjadi.

Berdirinya PKI

PKI sebagai sebuah partai yang berlogo Palu Arit ini merupakan partai politik beraliran komunis non-penguasa terbesar di dunia setelah negara Uni Soviet dan China. PKI memiliki sejarah panjang sejak awal terbentuk tahun 1914 hingga dibubarkan tahun 1965 dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Terbentuknya PKI dipelopori oleh seorang sosialis Belanda yang bernama Henk Sneevliet dengan membentuk sebuah tenaga pekerja dengan nama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada tahun 1914. ISDV pada dasarnya dibentuk oleh 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP dan Partai Sosialis Belanda yang kemudian menjadi SDP komunis, yang berada dalam kepemimpinan Hindia Belanda. Para anggota Belanda dari ISDV memperkenalkan ide-ide Marxis untuk mengedukasi orang-orang Indonesia mencari cara untuk menentang kekuasaan kolonial.

(Henk Sneevliet)

Pada Oktober 1915, ISDV mulai aktif dalam penerbitan surat kabar berbahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars. Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan untuk Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Tapi berubah ketika Sneevliet memindahkan markas mereka dari Surabaya ke Semarang dan menarik banyak penduduk asli dari berbagai elemen seperti agama, nasionalis dan aktivis gerakan lainnya yang ini tumbuh di Hindia Belanda sejak tahun 1900.

Pada tahun 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri, dan membentuk partai sendiri dengan nama Partai Demokrat Sosial Hindia. Pada tahun 1917 ISDV meluncurkan sendiri publikasi pertama berbahasa Indonesia, Suara Merdeka. Di bawah kepemimpinan Sneevliet, kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah 'Pengawal Merah' dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet.

Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun. ISDV membentuk blok dengan organisasi anti-kolonialis Sarekat Islam. Banyak anggota SI seperti dari Surabaya, Semaun dan Darsono dari Solo tertarik dengan ide-ide Sneevliet. Sebagai hasil dari strategi Sneevliet akan "blok dalam", banyak anggota SI dibujuk untuk mendirikan revolusioneris yang lebih dalam Marxis-didominasi Sarekat Rakjat. ISDV terus bekerja secara klandestin. Meluncurkan publikasi lain, Suara Rakyat. Setelah kepergian paksa beberapa kader Belanda, dalam kombinasi dengan pekerjaan di dalam Sarekat Islam, keanggotaan telah bertransformasi dari mayoritas orang Belanda ke mayoritas pribumi Indonesia. Pada tahun 1919 hanya memiliki 25 anggota Belanda, dari total anggota yang kurang dari 400.

Perkembangan PKI

Pada Mei 1920 Kongres ISDV di Semarang, nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaun adalah ketua partai dan Darsono menjabat sebagai wakil ketua. Sekretaris, bendahara, dan tiga dari lima anggota komite adalah orang Belanda. PKH adalah partai komunis Asia pertama yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai pada kongres kedua Komunis Internasional 1921.

Pada periode menjelang kongres keenam Sarekat Islam pada tahun 1921, anggota menyadari strategi Sneevliet dan mengambil langkah untuk menghentikannya. Agus Salim, sekretaris organisasi, memperkenalkan sebuah gerakan untuk melarang anggota SI memegang keanggotaan dan gelar ganda dari pihak lain di kancah perjuangan pergerakan Indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota komunis kecewa dan keluar dari partai. Contohnya Tan Malaka dan Semaun yang juga keluar dari gerakan karena kecewa untuk kemudian mengubah taktik dalam perjuangan pergerakan Indonesia. Pada saat yang sama, pemerintah kolonial Belanda menyerukan tentang pembatasan kegiatan politik, dan Sarekat Islam memutuskan untuk lebih fokus pada urusan agama, meninggalkan komunis sebagai satu-satunya organisasi nasionalis yang aktif.

Bersama Semaun yang berada jauh di Moskow untuk menghadiri Far Eastern Labor Conference pada awal 1922, Tan Malaka mencoba untuk mengubah pemogokan terhadap pekerja pegadaian pemerintah menjadi pemogokan nasional untuk mencakup semua serikat buruh Indonesia. Hal ini ternyata gagal, Tan Malaka ditangkap dan diberi pilihan antara pengasingan internal atau eksternal. Dia memilih yang terakhir dan berangkat ke Rusia.

Pada Mei 1922, Semaun kembali setelah tujuh bulan di Rusia dan mulai mengatur semua serikat buruh dalam satu organisasi. Pada tanggal 22 September, Serikat Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Persatuan Vakbonded Hindia) dibentuk. Pada kongres Komintern kelima pada tahun 1924, ia menekankan bahwa "prioritas utama dari partai-partai komunis adalah untuk mendapatkan kontrol dari persatuan buruh" karena tidak mungkin ada revolusi yang sukses tanpa persatuan kelas buruh ini. Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

PKI Memimpin Pemberontakan 1926

Pada November 1926, PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Bersama Alimin, Musso yang merupakan salah satu pemimpin PKI di era tersebut sedang tidak berada di Indonesia. Ia sedang melakukan pembicaraan dengan Tan Malaka yang tidak setuju dengan langkah pemberontakan tersebut.

Pemberontakan ini akhirnya dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan, 4.500 dipenjara, sejumlah 1.308 yang umumnya kader-kader partai diasingkan, dan 823 dikirim ke Boven Digul, sebuah kelompok tahanan di Papua. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.

Pada 1935, pemimpin PKI Musso kembali dari pengasingan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah tanah. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kemudian PKI bergerak di berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpunan Indonesia , yang tak lama kemudian berpihak pada PKI

Kebangkitan PKI Pasca-Perang

PKI muncul kembali di panggung politik setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, dan secara aktif mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan dari Belanda. Banyak unit bersenjata berada di bawah kontrol atau pengaruh PKI. Meskipun PKI memainkan peran penting dalam memerangi Belanda, Presiden Soekarno khawatir bahwa semakin kuatnya pengaruh PKI akhirnya akan mengancam posisinya. Selain itu, pertumbuhan PKI juga menimbulkan masalah bagi sektor sayap kanan dari pemerintahan Indonesia serta beberapa kekuatan asing, khususnya semangat penuh anti-komunis dari Amerika Serikat. Dengan demikian hubungan antara PKI dan kekuatan lain yang juga berjuang untuk kemerdekaan pada umumnya berjalan sengit.

Pada Februari 1948, PKI dan Partai Sosialis membentuk front bersama, yaitu Front Demokrasi Rakyat. Front ini tidak bertahan lama, namun Partai Sosialis kemudian bergabung dengan PKI. Pada saat itu Pesindo berada di bawah kendali PKI.

Pada tanggal 11 Agustus 1948, Musso kembali ke Jakarta setelah dua belas tahun di Uni Soviet. Politibiro PKI direkonstruksi, termasuk D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Njoto. Pada 5 September 1948 dia memberikan pidato anjuran agar Indonesia merapat kepada Uni Soviet. Dan anjuran itu berujung pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur.

Peristiwa Madiun 1948

Setelah penandatanganan Perjanjian Renville pada tahun 1948, hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya, Indonesia menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki. Banyak unit bersenjata dari Partai Republik kembali dari zona konflik. Hal ini memberikan beberapa keyakinan sayap kanan Indonesia bahwa mereka akan mampu menandingi PKI secara militer. Unit gerilya dan milisi di bawah pengaruh PKI diperintahkan untuk membubarkan diri.

Di Madiun kelompok militer PKI menolak untuk pergi bersama dengan perlucutan senjata para anggota yang dibunuh pada bulan September tahun yang sama. Pembunuhan itu memicu pemberontakan kekerasan. Hal Ini memberikan alasan untuk menekan PKI. Hal ini diklaim oleh sumber-sumber militer bahwa PKI telah mengumumkan proklamasi 'Republik Soviet Indonesia' pada tanggal 18 September dengan menyebut Musso sebagai presiden dan Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri. Pada saat yang sama PKI mengecam pemberontakan dan meminta tenang. Pada 30 September Madiun diambil alih oleh TNI dari Divisi Siliwangi.

Ribuan kader partai terbunuh dan 36 000 dipenjara. Di antara beberapa pemimpin yang dieksekusi termasuk Musso yang dibunuh pada 31 Oktober saat tertangkap di Desa Niten Kecamatan Sumorejo, Ponorogo. Diduga ketika Musso mencoba melarikan diri dari penjara. Aidit dan Lukman pergi ke pengasingan di Republik Rakyat Tiongkok. Namun, PKI tidak dilarang dan terus berfungsi. Rekonstruksi partai dimulai pada tahun 1949.

Perjalanan PKI Pada Tahun 1950- 1964

Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satu pun di antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165.000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959. Oposisi lanjutan kepada Belanda terhadap Irian Jaya adalah masalah yang sering diangkat oleh PKI selama tahun 1950.

Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan-pemogokan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas oleh kubu yang menentang PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu. Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.

Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September 1957, Masjumi yang merasa tersaingi oleh PKI secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang.

Pada Februari 1958, terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Soekarno yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.

Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas dan multi-golongan.

Pada bulan Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia.

Salah satu hal yang dilakukan PKI setelah masuk kedalam pemerintahan Orde Lama adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani. Pimpinan PKI bermaksud dengan dibentuknya angkatan kelima ini diharapkan dapat mendukung mobilisasi massa untuk menuntaskan Operasi Dwikora dalam menghadapi Malaysia. Namun, hal ini membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI. Pada Januari 1964 PKI mulai menyita properti Inggris yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan Inggris di Indonesia.

Gerakan G30S Tahun 1965

Pada Desember 1964, Chaerul Saleh dari Partai Murba (partai yang dibentuk oleh mantan pemimpin PKI Tan Malaka) menyatakan bahwa PKI sedang mempersiapkan kudeta. PKI menuntut larangan Partai Murba, tuntutan itu dipaksakan kepada Soekarno pada awal 1965. Dalam konteks Konfrontasi dengan Malaysia, PKI menyerukan untuk 'mempersenjatai rakyat'. Sebagian besar pihak dari tentara Angkatan Darat melarang hal ini. Sikap Soekarno tetap secara resmi untuk tidak terlalu mengambil sikap atas hal tersebut karena Soekarno cenderung mendukung Konfrontasi dengan Malaysia seperti PKI.

Pada bulan Juli sekitar 2000 anggota PKI mulai menggelar pelatihan militer di dekat pangkalan udara Halim. Terutama dalam konsep 'mempersenjatai rakyat' yang telah memenangkan banyak dukungan di antara kalangan militer Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Pada tanggal 8 September, demonstran PKI memulai untuk pengepungan selama dua hari di Konsulat AS di Surabaya. Pada tanggal 14 September, Aidit mengalamatkan kepada gerilyawan PKI untuk mendesak anggota agar waspada dari hal-hal yang akan datang. Pada 30 September Pemuda Rakyat dan Gerwani, kedua organisasi PKI terkait menggelar unjuk rasa massal di Jakarta terhadap krisis inflasi yang melanda.

Pada malam 30 September (1 Oktober 1965 dini hari), enam jenderal senior Indonesia dibunuh dan mayat mereka dibuang ke dalam sumur. Pembunuh para jenderal mengumumkan keesokan harinya bahwa Dewan Revolusi baru telah merebut kekuasaan, yang menyebut diri mereka "Gerakan 30 September ("G30S"). Dengan banyaknya jenderal tentara senior yang mati atau hilang, Jenderal Soeharto mengambil alih kepemimpinan tentara dan menyatakan kudeta yang gagal pada 2 Oktober. Tentara dengan cepat menyalahkan upaya kudeta PKI dan menghasut dengan kampanye propaganda anti-Komunis di seluruh Indonesia. Bukti yang mengaitkan PKI untuk pembunuhan para jenderal tidak meyakinkan, yang mengarah ke spekulasi bahwa keterlibatan mereka sangat terbatas, atau bahwa Soeharto mengorganisir peristiwa, secara keseluruhan atau sebagian, dan mengkambinghitamkan kepada komunis.

Dalam pembersihan anti-komunis melalui kekerasan berikutnya, diperkirakan 500.000 komunis (atau dicurigai beraliran komunis) dibunuh, dan PKI secara efektif dihilangkan (lihat Pembantaian di Indonesia 1965–1966). Jenderal Soeharto kemudian mengalahkan Soekarno secara politik dan diangkat menjadi presiden pada tahun 1968, karena mengkonsolidasikan pengaruhnya atas militer dan pemerintah.

Pada tanggal 2 Oktober, basis di Halim berhasil ditangkap oleh pihak tentara. Harian Rakyat mengambil isu pada sebuah artikel yang berisi untuk mendukung kudeta G30S, tetapi spekulasi kemudian bangkit mengenai apakah itu benar-benar mewakili pendapat dari PKI. Sebaliknya pernyataan resmi PKI pada saat itu adalah bahwa upaya G30S merupakan urusan internal di dalam angkatan bersenjata mereka. Pada tanggal 6 Oktober, kabinet Soekarno mengadakan pertemuan pertama sejak 30 September. Menteri PKI hadir. Sebuah resolusi mengecam G30S disahkan. Njoto ditangkap langsung setelah pertemuan itu.

Presiden Soekarno berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang bertindak di luar kontrol dan terpancing oleh inisiasi Barat, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat pada tengah malam 30 September menuju dini hari 1 Oktober 1965.

Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi terhadap kekejaman, melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.

Manifestasi besar diadakan di Jakarta dua hari kemudian, menuntut pelarangan PKI. Kantor utama milik PKI dibakar. Pada tanggal 13 Oktober, organisasi Islam, Ansor mengadakan aksi unjuk rasa anti-PKI di seluruh Jawa. Pada tanggal 18 Oktober, sekitar seratus PKI dibunuh oleh pihak Ansor. Pemusnahan secara sistematis untuk partai telah dimulai. Antara 300.000 sampai satu juta orang Indonesia dibunuh dalam pembunuhan massal yang digelar. Para korban termasuk juga non-komunis yang dibunuh karena kesalahan identitas atau "kesalahan oleh asosiasi". Namun, kurangnya informasi menjadi tidak mungkin untuk menentukan angka pasti dari jumlah korban yang dibunuh. Banyak para peneliti hari ini menjelaskan korban yang dibunuh antara 200.000 sampai 500.000 orang. Sebuah studi dari CIA tentang peristiwa di Indonesia ini menilai bahwa "Dalam hal jumlah korban pembantaian oleh anti-PKI, Indonesia masuk dalam salah satu peringkat pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20 ...".

Berita berikut pada tanggal 17 Desember 1966:

Komunis, simpatisan merah dan keluarga mereka dibantai mencapai ribuan. Unit tentara dilaporkan telah mengeksekusi ribuan komunis setelah diinterogasi di penjara-penjara terpencil. Berbekal pisau berbilah lebar yang disebut parang, kelompok Muslim merayap di malam hari ke rumah-rumah komunis, membunuh seluruh keluarga dan mengubur mayat mereka di kuburan dangkal.

Kampanye pembunuhan ini sangatlah kejam di beberapa daerah pedesaan di Jawa Timur, para milisi Islam menancapkan kepala korban pada tiang dan mereka mengarak melalui desa-desa. Pembunuhan telah ada pada skala tinggi sehingga pembuangan mayat menciptakan masalah sanitasi yang serius di Jawa Timur dan Sumatera Utara di mana udara lembab penuh bau busuk daging. Pengunjung dari daerah tersebut mengatakan sungai kecil dan besar yang telah benar-benar tersumbat dengan mayat.

Meskipun motif pembunuhan tampaknya bernuansa politik, beberapa ahli berpendapat bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh keadaan panik dan ketidakpastian politik. Bagian dari kekuatan anti-komunis yang bertanggung jawab atas pembantaian terdiri dari para pelaku tindak kriminal (seperti para preman yang telah diberi izin untuk terlibat dalam tindakan yang tidak masuk akal berupa kekerasan). Motif lain yang terjadi juga telah dieksplorasi.

Di tingkat internasional, Kantor Berita RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Xinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.[April 2010]

Di antara daerah-daerah yang terkena dampak terburuk adalah pulau Bali, di mana PKI telah berkembang pesat sebelum tindakan kerasasan tersebut. Pada tanggal 11 November bentrokan meletus antara PKI dan PNI, yang berakhir dengan pembantaian terhadap anggota dan simpatisan yang dituduh PKI.

Jika banyak dari pogrom (menghancurkan adalah serangan penuh kekerasan besar-besaran yang terorganisasi atas sebuah kelompok tertentu, etnis, keagamaan, atau lainnya, yang dibarengi oleh penghancuran terhadap lingkungannya) anti-PKI di seluruh daerah lain itu dilakukan oleh organisasi-organisasi politik Islam, pembunuhan di Bali dilakukan atas nama Hindu. Bali berdiri sebagai satu-satunya tempat di Indonesia di mana tentara lokal dalam beberapa cara intervensi cenderung mengurangi praktik pembantaian tersebut.

Pada tanggal 22 November, Aidit ditangkap dan dibunuh.

Pada bulan Desember militer menyatakan bahwa Aceh telah dibersihkan dari komunis. Bersamaan, khusus Pengadilan Militer yang dibentuk untuk mengadili dan memenjarakan para anggota PKI. Pada 12 Maret 1966, partai PKI secara resmi dilarang oleh Soeharto, dan serikat buruh pro-PKI SOBSI dilarang pada bulan April. Penjara-penjara di Jakarta begitu penuh, hampir seluruh penjara digunakan untuk menahan anggota PKI. Banyak tahanan politik ditahan tanpa dasar yang jelas. Sejak saat itu, identitas bangsa Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat anti-kolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warga negara yang jahat dan baik. Beberapa peristiwa yang menggemparkan itu dituangkan dalam novel fiksi populer dan difilmkan dengan judul yang sama yaitu The Year of Living Dangerously (1982).

Sobat100, banyak penelitian yang mengungkap bahwa pelaku peristiwa G30S tidak tunggal sebagaimana versi Orde Baru yang menyebut PKI sebagai satu-satunya dalang di balik peristiwa berdarah itu. Namun sejak Reformasi, selain penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 juga tidak lagi mencantumkan “/PKIâ€. Hal ini karena banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa pelaku peristiwa G30S tidak tunggal, sebagaimana versi Orde Baru.

Hipotesis Pelaku G30S

Dari berbagai penelitian, setidaknya ada lima versi tentang pelaku G30S yaitu PKI, konflik internal Angkatan Darat, Soekarno, Soeharto, dan unsur asing terutama CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat).

1. PKI

Ini merupakan versi rezim Orde Baru. Literatur pertama dibuat sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh bertajuk Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968). Intinya menyebut skenario PKI yang sudah lama ingin mengkomuniskan Indonesia. Buku ini juga jadi acuan pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer.

Selain itu, rezim Orde Baru membuat Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto yang diajarkan di sekolah-sekolah semenjak Soeharto berkuasa. Oleh karena itu, versi Orde Baru ini mencantumkan “/PKI†di belakang G30S. Para pelaku sendiri menamai operasi dan menyebutkannya dalam pengumuman resmi sebagai “Gerakan 30 September†atau “G30Sâ€.

Sebagai bagian dari propaganda Orde Baru, gerakan ini pernah disebut sebagai Gestapu (Gerakan September Tiga puluh). Penamaan ini adalah bagian dari propaganda untuk mengingatkan orang kepada Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang terkenal kejam. Presiden Soekarno mengajukan penamaan menurut versinya sendiri, yakni “Gerakan Satu Oktober†atau “Gestok.†Menurutnya, Gestok jauh lebih tepat menggambarkan peristiwanya karena kejadian penculikan para jenderal dilakukan lewat tengah malam 30 September yang artinya sudah memasuki tanggal 1 Oktober dini hari.

Penyebutan G30S/PKI sebagai bagian propaganda untuk menegaskan bahwa satu-satunya dalang di balik peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat adalah PKI. Penamaan peristiwa ini selama bertahun-tahun digunakan dalam pelajaran sejarah sebagai satu-satunya versi yang ada. Penamaan tersebut menutup kemungkinan munculnya versi lain yang memiliki sudut pandang berbeda atas peristiwa yang terjadi. Kesimpulan tersebut diambil tanpa terlebih dahulu melewati sebuah penyelidikan.

2. KONFLIK INTERNAL ANGKATAN DARAT

Hipotesis yang kedua ini sebenernya sudah lama diketahui sama peneliti-peneliti dan media luar negeri. Tapi, upaya buat menyuarakan sangat disulitkan, terutama pada masa pemerintahan ORDE BARU. Pertama kali muncul, hipotesis ini dijabarkan secara panjang lebar oleh peneliti politik Indonesia asal Universitas Cornell, AS, Benedict Anderson. Sebenernya ada dua versi kecil dalam teori ini, yaitu yang berpendapat bahwa:

• Mayjen Soeharto adalah dalang dari peristiwa penculikan dan pembunuhan keenam Jendral.
• Soeharto tidak terlibat namun hanya diuntungkan dari situasi dari konflik internal TNI.

Pasti sobat100 bertanya-tanya, sebetulnya memangnya ada konflik internal apa di TNI pada masa itu? Kubu apa aja dalam internal TNI yang bertikai? Kenapa konflik internal ini berhubungan erat dengan peristiwa penculikan dan pembunuhan keenam jendral. Oke, kita bahas satu-satu yah sobat100. Kalo boleh kita simplifikasi, pada masa itu TNI terpecah menjadi 2 kubu yang secara sederhana kita sebut saja dengan:

1. Kubu Soekarnois dengan
2. Kubu “Kananâ€.

1. Kubu Soekarnois

Kubu ini sangat setia dengan Presiden Soekarno, walaupun mereka sebetulnya kurang sepakat dengan ideologi Nasakom yang digagas oleh Soekarno. Salah satu figur utama dalam kubu ini adalah Letnan Jendral Ahmad Yani (Kepala Staf AngkatanDarat/KSAD). A.Yani dikenal sebagai pendamai ulung dalam setiap gerakan separatis yang mengancam kesatuan RI. Jadi, kalau mau mendamaikan konflik apa-apa, Soekarno tidak perlu pusing, langsung saja turunkan A.Yani ke lapangan. Pemberontakan selesai, minim korban dan konflik! Selain A.Yani, kebanyakan kubu Sokarnois dipenuhi oleh para perwira muda.

2. Kubu “Kananâ€

Kubu ini sangat khawatir terhadap sikap politik Soekarno yang seringkali menganggap TNI sebelah mata, sehingga sering juga Jendral-jendral dari kubu ini protes ke Soekarno. Perwira tertinggi dari kubu ini yang terkenal adalah Jendral Soedirman, Jendral Tahi Bonar (TB) Simatupang, dan Jendral Abdul Harris (AH) Nasution. Pada masa itu (1962 – 1966), TNI cukup sibuk dengan adanya 2 konflik militer yaitu upaya untuk merebut Irian Barat (1963) dan juga Konfrontasi dengan Malaysia (1962-1966). Di tengah-tengah 2 operasi militer tersebut, TNI merasa terganggu dengan gagasan dari PKI untuk membentuk Gerakan yang bernama Angkatan Kelima. Angkatan Kelima ini intinya adalah gerakan untuk mempersenjatai sipil terutama kaum buruh dan petani, agar bisa membantu Indonesia dalam konfrontasi militer dengan Malaysia, dengan alasan bahwa jumlah petani dan buruh sangat banyak. Dengan adanya usulan ini, pihak militer menanam kecurigaan bahwa gerakan Angkatan Kelima ini adalah upaya PKI untuk memobilisasi buruh dan petani (yang merupakan simpatisan PKI) untuk melakukan kudeta dan merebut kekuasaan.

Memanasnya hubungan PKI – TNI ini lah yang menjadi sumber konflik baru dalam internal TNI sendiri. Kubu Soekarnois menganggap bahwa apa pun yang menjadi keputusan Soekarno, sebagai Panglima Tertinggi TNI dan Pemimpin Besar Revolusi waktu itu, harus dipatuhi. Jadi, walaupun sebetulnya mereka khawatir sama perkembangan pesat yang diraih PKI, tetap harus dukung rencana Soekarno terkait ajaran Nasakom. Di sisi lain, kubu Kanan menganggap bahwa PKI adalah ancaman buat TNI dan rakyat Indonesia sehingga harus diredam perkembangannya.

Inilah yang jadi awal perpecahan yang berujung ke peristiwa G30S, yang menurut para pendukung hipotesis ini, peristiwa penculikan dan pembunuhan keenam Jendral merupakan gerakan murni yang dilakukan oleh TNI. Ada tiga bukti yang selalu dijadikan alasan kuat oleh para pendukung hipotesis ini. Pertama adalah hasil penelitian Benedict Anderson yang dikenal dengan Cornell Paper. Kedua adalah pembelaan diri dari Kolonel Latief (salah satu terdakwa G30S/PKI), dan ketiga adalah hasil otopsi terhadap para jendral yang jadi korban G30S.

Bukti Penguat 1 : Cornell Paper

Hasil penelitian ini dengan jelas menyebutkan bahwa Gerakan 30S adalah inisiatif beberapa perwira menengah TNI yang mengetahui adanya upaya untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno. Hal ini diperjelas sama pidato Letkol Untung Syamsuri, yang waktu itu adalah kepala penjaga presiden, saat mengambil alih stasiun RRI pagi harinya, bahwa penculikan yang dia lakukan adalah untuk mencegah terjadinya kudeta terhadap Soekarno. Usaha para perwira menengah yang usianya masih cenderung muda ini kebanyakan kecewa sama para petinggi TNI karena kurang memperhatikan kesejahteraan para perwira menengah ke bawah.

Bukti Penguat 2: Pledoi Latief

Kol. Latief merupakan Komandan Brigadir Infantri Kodam Jaya pada tahun 1965 dan merupakan kawan dekat dari Mayjen Soeharto dan Letkol Untung, ketika berada di Kodam Diponegoro. Pada saat Latief dituduh terlibat G30S, Latief melakukan pernyataan pembelaan diri (pledoi) dengan mengatakan bahwa Soeharto sebenarnya mengetahui tentang rencana penculikan jendral-jendral, tapi tidak mengambil sikap apa-apa. Dalam pembelaannya, Latief mengungkapkan bahwa beberapa jam sebelum penculikan berlangsung, Latief datang melapor ke Mayjen Soeharto di RSPAD (waktu itu Soeharto sedang menjenguk anaknya yang sedang sakit) bahwa ada tentara yang akan menculik A.Yani (kubu Soekarnois) dkk serta membawa mereka ke Presiden Soekarno.

Karena menganggap bahwa Soeharto sudah mengetahui serta mendukung rencana ini, dia pun lalu pergi meninggalkan RSPAD Gatot Subroto. Setelah peristiwa tersebut terjadi, baru Latief kebingungan karena para Jendral yang rencananya hanya diculik untuk kemudian dibawa ke Presiden Soekarno ternyata ditemukan tewas.

Bukti Penguat 3: Hasil otopsi para korban

Berbeda dengan klaim yang dibuat oleh media asuhan TNI seperti Beritayudha dan Angkatan Bersendjata bahwa terjadi penyiksaan terhadap para jendral sebelum akhirnya dibunuh. Ternyata, hasil otopsi yang dilakukan oleh tim dokter yang terdiri dari :

•    dr. Brigjen Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat),
•    dr. Kol. Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat),
•    Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, profesor di FK UI),
•    dr. Liauw Yan Siang (dosen dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI)
•    dr. Liem Joe Thay (alias dr. Arief Budianto, dosen Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FK-UI)

Menyatakan bahwa pada tubuh para jendral tidak ditemukan adanya bekas penyiksaan. Korban diyakini tewas karena beberapa luka tembusan peluru, ditambah dengan luka benturan (diduga terjadi setelah tewas karena dijatuhkan ke dalam sumur). Tidak ditemukan tanda-tanda bekas cungkilan mata, pemotongan alat kelamin, dsb, seperti klaim dari berita-berita media TNI. Kalo kita melihat dari ketiga bukti di atas, ternyata hipotesis 2 ini juga punya bukti yang harus dipertimbangkan. Para kaum cendekiawan yang mendukung hipotesis ini percaya bahwa mmentum konflik internal dalam kubu TNI dimanfaatkan sebagai momenperalihan kekuasaan sekaligus juga dengan menjadikan PKI sebagai kambing hitam yang merupakan musuh ideologis TNI pada masa itu.

3. Soekarno

Ada tiga buku yang menuding Presiden Sukarno terlibat dalam peristiwa G30S: Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965 (2004); Antonie C.A. Dake, The Sukarno File, 1965-67: Chronology of a Defeat (2006) yang sebelumnya terbit berjudul The Devious Dalang: Sukarno and So Called Untung Putsch: Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko (1974); dan Lambert Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno. Menurut Asvi ketiga buku tersebut “mengarah kepada de-Sukarnoisasi yaitu menjadikan presiden RI pertama itu sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September dan bertanggung jawab atas segala dampak kudeta berdarah itu.â€

Ketika buku Dake terbit di Indonesia dengan judul Sukarno File (2005), keluarga Sukarno protes keras dan menyebutnya sebagai pembunuhan karakter terhadap Sukarno. Untuk menyanggah buku-buku tersebut, Yayasan Bung Karno menerbitkan buku Bung Karno Difitnah pada 2006. Cetakan kedua memuat bantahan dari Kolonel CPM Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen Tjakrabirawa.

4. Soeharto

Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V, Kolonel Abdul Latief dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1999) mengungkapkan bahwa dia melaporkan akan adanya G30S kepada Soeharto di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Jakarta pada 28 September 1965, dua hari sebelum operasi dijalankan.

Bahkan, empat jam sebelum G30S dilaksanakan, pada malam hari 30 September 1965, Latief kembali melaporkan kepada Soeharto bahwa operasi menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal akan dilakukan pada dini hari 1 Oktober 1965. Menurut Latief, Soeharto tidak melarang atau mencegah operasi tersebut. Menurut Asvi, Faktanya bahwa Soeharto bertemu dengan Latief dan mengetahui rencana G30S namun tidak melaporkannya kepada Ahmad Yani atau AH Nasution, menjadi titik masuk bagi analisis “kudeta merangkak†yang dilakukan oleh Soeharto. Ada beberapa varian kudeta merangkak, antara lain disampaikan oleh Saskia Wierenga, Peter Dale Scott, dan paling akhir Soebandrio, mantan kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) dan menteri luar negeri. Dalam Kesaksianku tentang G30S (2000) Soebandrio mengungkapkan rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap:

-    menyingkirkan para jenderal pesaing Soeharto melalui pembunuhan pada 1 Oktober 1965;
-    membubarkan PKI, partai yang memiliki anggota jutaan dan pendukung Soekarno;
-    menangkap 15 menteri yang loyal kepada Presiden Soekarno; dan
-    mengambilalih kekuasaan dari Soekarno.

5. KETERLIBATAN BLOK BARAT DI TENGAH KONFLIK PERANG DINGIN

Setelah masa Perang Dunia II, terjadi ketegangan antara kedua kubu besar yang mengambil andil besar dalam mengalahkan Jerman dan Jepang, yaitu:

-    kubu Blok Timur (Uni Soviet, Cina dalam Warsaw Pact) yang mayoritas berideologi komunis
-    kubu Blok Barat (Amerika dan sekutu dalam NATO) yang sebagian besar berideologi kapitalis.

Ketegangan antara 2 kubu ini memang tidak banyak melibatkan kontak senjata (makanya disebutnya perang dingin), akan tetapi justru “konflik†yang terjadi adalah adu siasat untuk menguasai sebanyak mungkin wilayah-wilayah strategis, jalur perdagangan, sumber daya alam, hubungan bilateral wilayah dunia ketiga, dsb.

Dalam perspektif ini, Indonesia dipandang oleh kedua kubu sebagai wilayah yang sangat strategis. Dari mulai upaya untuk menjalin hubungan bilateral, penghubung jalur perdagangan, potensi pasar yang konsumtif, dan juga sumber daya alam. Tentu saja kedua kubu ini ingin sekali mengambil hati negara Indonesia untuk bisa bergabung dengan aliansi mereka masing-masing. Dunia internasional memiliki catatan sejarahnya sendiri terkait dengan peristiwa 30 September 1965 yang terjadi di Indonesia, serta pengaruhnya peristiwa tersebut yang menjadi titik penentu konflik perang dingin.

Sementara itu, Soekarno menetapkan Indonesia sebagai penganut Non-Aligned Movement (Gerakan Non-Blok), yang berarti Indonesia mengambil sikap untuk tidak memihak antara kedua kubu Barat maupun Kubu Timur. Posisi seperti ini dianggap sangat mengkhawatirkan oleh Blok Barat yang betul-betul mengharapkan Indonesia tidak sampai jauh pada ideologi komunis. Sampai pada tahun 1957-1958 Indonesia menghadapi 2 ancaman pemberontakan dari Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat tahun 1958 dan pemberontakan Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta disingkat Permesta di Makasar dan kawasan Indonesia Timur. Dalam upaya meredam pemberontakan ini, Indonesia menyadari bahwa adanya intervensi dari Blok Barat, CIA, dan Amerika yang mendukung kaum pemberontakan. Salah satunya adalah dengan tertangkapnya Allen Lawrence Pope seorang tentara bayaran yang ditugasi CIA untuk membantu pemberontakan PRRI dan Permesta.

Sejak saat itu, pandangan politik Presiden Soekarno berubah drastis terhadap Blok Barat dan cenderung lebih menjalin hubungan baikdengan Blok Timur. Puncaknya pada tahun 1964, Soekarno memulai kampanye anti-Amerika dengan melarang peredaran film, buku, dan musik dari Amerika, penolakan segala macam bantuan dari Amerika, sampai pemenjaraan dari group band Koes Plus karena bandel tetap memainkan musik dengan gaya rock and roll ala Amerika. Kondisi tersebut diperparah ketika Indonesia memutuskan keluar dari PBB pada 7 January 1965 dan membentuk kebijakan politik luar negeri menjadi poros Jakarta–Beijing–Moscow–Pyongyang–Hanoi.

Terus bagaimana tindakan strategis Amerika untuk bisa merebut kembali hati negara Indonesia? Para peneliti sejarah yang menganalisa keterlibatan CIA ini kemudian mengambil kesimpulan bahwa ada kemungkinan CIA terlibat dalam gerakan penculikan dan pembunuhan tujuh perwira tinggi militer dengan memanfaatkan konflik internal dari TNI untuk kemudian membantu terjadinya peralihan kekuasaan (menumbangkan Soekarno) sambil menjadikan PKI (yang berideologi komunis) sebagai kambing hitam.

Dengan adanya peristiwa 30 September 1965 ini serta perubahan pandangan politik Indonesia yang sangat memusuhi komunis, tentu saja sangat menguntungkan pihak Blok Barat terutama Amerika. Pertama, rezim pemerintahan Soekarno mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat maupun kalangan elit politik sampai akhirnya Soekarno lengser dan digantikan oleh Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia. Kedua, sejak saat itu Indonesia jadi berpandangan bahwa ideologi komunis (yang dianut sebagian besar Blok Timur) adalah ideologi yang berbahaya, sesat, serta membahayakan bagi NKRI. Dengan begitu, peristiwa 30 September menjadi titik tonggak peralihan pandangan politik Indonesia yang tadinya berporos pada Jakarta–Beijing–Moscow–Pyongyang–Hanoi, menjadi negara yang membuka investasi sebesar-besarnya terhadap perdagangan dunia, terutama dengan pihak Amerika dan Blok Barat.

Pada tahun 1990, Kathy Kadane mantan agen CIA membeberkan keterlibatan CIA terhadap proses peralihan kekuasaan pada tahun 1965 serta upaya penghapusan ideologi komunis di Indonesia. Selain itu, pada tahun 1999, CIA melakukan deklasifikasi (declassified) atau pembukaan dokumen rahasia (merupakan kebijakan Amerika untuk membuka dokumen rahasia setelah sekian puluh tahun berselang) tentang keterlibatan mereka terhadap konflik internal negara Indonesia dari mulai bukti telegram dari kedutaan besar Amerika di Indonesia tentang pendanaan yang diberikan oleh Amerika agar Indonesia tidak jatuh menganut paham ideologi Komunisme. Sampai pada akhirnya Wikileaks juga membuka dokumen-dokumen rahasia Amerika lainnya tentang keterlibatan AS dalam mendukung gerakan peralihan kekuasaan di Indonesia pada tahun 1965. Update terakhir terkait informasi keterlibatan Amerika Serikat juga diperkuat setelah deklasifikasi dokumen rahasia CIA dan NSA pada Oktober 2017, ke-39 dokumen rahasia Amerika Serikat yang sudah resmi dibuka kepada publik tersebut, kini bisa dibaca dalam bahasa Indonesia pada link berikut ini.

DAMPAK GERAKAN 30 SEPTEMBER / 1 OKTOBER BAGI INDONESIA

Nah, sekarang Sobat100 sudah mendapatkan garis besar dari 4 versi tentang sebuah peristiwa Sejarah yang paling gelap, paling misterius, dan mungkin paling memilukan bagi Bangsa Indonesia. Jadi siapakah dalang sebetulnya yang paling bertanggung-jawab terhadap peristiwa gerakan 30 September ini? Apakah PKI? atau oknum internal TNI? Atau Jenderal Soeharto? atau Amerika, CIA, dan sekutunya?

Siapa pun itu, dampak dari peristiwa ini jauh lebih menyedihkan bagi Bangsa Indonesia. Sejak (atau bahkan sebelum) Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia pada tahun 1966, kebencian masyarakat Indonesia terhadap PKI meluas ke seluruh penjuru Indonesia. Akibatnya, diperkirakan:

• 600.000 orang yang dianggap terkait dengan PKI menjadi tahanan politik, ditangkap tanpa surat penangkapan serta ditahan tanpa proses persidangan.

• Setidaknya diperkirakan 500.000 – 2,000,000 atau 3,000,000 orang dihilangkan secara paksa dan dibunuh di seluruh pelosok Indonesia dari tahun  1965 –   (kemungkinan) 1971. (Angka 2 juta diakui oleh Laks TNI Sudomo sedangkan 3 juta diakui oleh Jendral Sarwo Edhie)

• Ratusan orang tawanan politik Indonesia kabur ke luar negeri dan tidak bisa kembali ke Indonesia selama 30 tahun hingga masa Orde Baru jauh pada tahun 1998.

Aftermath atau dampak berkelanjutan setelah gerakan 30 September 1965 dianggap sebagai salah satu tragedi kemanusiaan (genocide) terbesar pada abad 20 yang jarang diketahui oleh publik Indonesia maupun dunia hingga saat ini.

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

•    Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
•    Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
•    Mayjen TNI Mas Tirtodarmo (MT) Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
•    Mayjen TNI Siswondo (S) Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
•    Brigjen TNI Donald Isaac (DI) Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
•    Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
•    Jenderal TNI Abdul Harris (AH) Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan dia, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
•    Bripka Karel Satsuit (KS) Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
•    Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
•    Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Hilangnya Satu Generasi Intelektual Indonesia

Tahun 1965 situasi politik berubah akibat peristiwa G30S/PKI. Mahasiswa Indonesia, sebagian besar tidak dapat kembali karena mereka dicurigai sebagai intelektual Soekarnois. Peralihan kekuasaan, menyebabkan mereka menjadi eksil. Di sini, dapat dibayangkan bagaimana cita – cita mengabdi dibayar dengan hilangnya identitas kewarganegaraan.

Sejarawan, Abdul Wahid, yang pernah meneliti tentang hilangnya riwayat intelektual pasca 1965 di lingkungan kampus di Indonesia, menyebut bahwa hilangnya para intelektual muda Indonesia yang menempuh studi di luar negeri merupakan sebuah kerugian yang tidak bisa dihitung secara matematis. Ia menyebutnya dengan istilah 'brain drain' atau 'kebocoran intelektual'. Akibatnya bisa ditebak, Indonesia mengalami kemandegan dalam pembangunan dan perlu waktu yang lama untuk bisa mengganti satu generasi intelektual yang akan menopang pembangunan nasional. Banyak dari mereka kemudian terpaksa mengabdikan ilmunya kepada negara lain, dan bahkan tak jarang ada yang berstatus "stateless" dan berpindah-pindah.

Contohnya, Iskandar dan Soejono merupakan salah satu mahasiswa beasiswa pada zaman Soekarno. Iskandar adalah mahasiswa Ikatan Dinas yang berangkat menuju Swedia pada 1963 berbekal beasiswa dari pemerintahan Soekarno untuk mengambil studi teknik elektro di salah satu perguruan tinggi tertua di negara itu. Iskandar mengaku awalnya sama sekali tidak tertarik pada politik. Buku babon mau pun diktat fisika serta ilmu kelistrikan cukup jadi makanannya sehari-hari. Namun, sejak situasi politik Indonesia bergejolak tahun 1965, yang berujung peristiwa G30S yang menewaskan enam jenderal lalu menyebabkan pembantaian kaum dan semua orang yang dituduh berhaluan 'kiri', Iskandar mau tak mau ikut melahap politik. Ia tidak pernah kembali ke tanah air hingga Orde Baru runtuh.

Berulang kali Iskandar bilang apa yang terjadi padanya dan ribuan mahasiswa beasiswa Ikatan Dinas saat itu sangatlah politis. Begitu Soeharto berkuasa, serempak Duta Besar era Soekarno dipaksa turun dari jabatan, mahasiswa dan delegasi Indonesia di luar negeri yang enggan mengutuk pemerintahan Soekarno dilarang pulang. Rezim Soeharto takut akan hadirnya intelektual yang loyal terhadap Soekarno, apalagi mereka yang dianggap berhaluan kiri. Semua itu bermula manakala sepucuk surat diterima Iskandar setahun setelah peristiwa G30S. Surat tersebut memintanya datang ke Kedutaan Besar Indonesia di Stockholm agar dirinya menandatangani sebuah surat. Iskandar sadar ada yang tidak beres, pasalnya semua duta besar era Soekarno langsung turun panggung, seketika setelah Soeharto berkuasa.

Mahasiswa Indonesia dipanggil. Kami diberi surat. Inti surat tersebut yaitu 'berdasarkan perubahan situasi di Indonesia di mana Soeharto sudah berkuasa. Dengan ini, pemerintah Soekarno yang ikut bekerja sama dengan Partai Komunis Indonesia sudah digulingkan, dan bahwa pemerintahan Indonesia sudah resmi menetapkan dan mengakui Soeharto sebagai presiden. Di bawahnya ada kalimat 'bersedia mengutuk pemerintahan Soekarno yang pro-komunis'. Iskandar dan seorang kawannya mengusulkan agar kalimat yang mengutuk pemerintahan Soekarno dihapuskan saja, karena mereka merasa punya utang budi dengan Rezim Soekarno yang mengirim mereka ke luar negeri. Namun, petugas yang saat itu mendampingi mengatakan tidak ada yang bisa diubah dari surat tersebut.

Setelah kejadian tersebut, pada 1967, Iskandar yang masih 23 tahun, menerima surat yang menyatakan bahwa Ia bukan lagi warga negara Indonesia. Paspornya dicabut, dan statusnya kewarganegaraannya berubah menjadi 'stateless'. Sebuah konsekuensi yang tidak Ia bayangkan sebelumnya. Hingga kini, Iskandar masih menyimpan surat pemecatan kewarganegaraannya itu. Iskandar beberapa tahun belakangan berada di Tanah Air. Ia rindu negaranya, rindu keluarga besarnya. Separuh hidupnya dia habiskan beranak-cucu di negeri orang. Lebih dari 10.000 kilometer dari tempat Iskandar berada, Soegeng Soejono masih setia menetap di Ceko. Soejono merupakan teman seangkatan Iskandar. Mereka pernah berkenalan dan berkawan ketika sama-sama di Cekoslovakia.

Soejono mengambil studi Pendidikan dan Ilmu Jiwa Anak di Fakultas Filsafat, Charles University Cekoslovakia. Tidak seperti Iskandar, Soejono tidak pernah dapat dokumen penjelasan apa pun ketika kewarganegaraannya hilang begitu saja. Kisah tragisnya dimulai seminggu setelah peristiwa G30S, Ia dipanggil Kedutaan Besar RI untuk melakukan 'screening', demi menyaring mahasiswa dan para intelektual yang diduga menjadi loyalis paham kerakyatan. Saat itu, menurut Soejono, mahasiswa di Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di Praha sudah menduga sesuatu yang tidak beres akan menimpa tatkala mendengar kabar bahwa di Tanah Air sedang terjadi huru-hara.

Dalam screening tersebut, Soejono ditanya mengenai sikapnya terhadap Orde Baru yang ia tentang dengan lantang. Menurut Soejono, Orde Baru berlawanan dengan prinsip hidupnya yang menghargai hak asasi manusia. Jawabannya menimbulkan reaksi keras. Orang yang yang melakukan screening terhadap Soejono serta merta menuduhnya komunis.

Berbeda dengan Iskandar yang langsung dilarang pulang, Soejono malah segera diminta kembali ke Indonesia oleh aparat di Kedubes. Ia menyadari perintah pulang bisa membuat nyawanya melayang, atau minimal bersarang di penjara sebagai tahanan politik. Sejak saat itu, tekadnya bulat untuk tidak pulang. Kewarganegaraannya dicabut, dan menyandang status 'stateless' selama puluhan tahun.

Setelah 35 tahun berada di Cekoslovakia, Soejono baru menginjakkan kaki kembali ke Tanah Air pada 1998, tepat beberapa minggu sebelum Soeharto terjungkal dari kursi kepresidenan.

Setelah 1998, Soejono berkunjung ke Indonesia sekitar lima hingga enam kali. Namun, keputusannya bulat. Soejono tidak akan kembali menetap di Tanah Air. Separuh hidupnya Ia habiskan di Ceko, bekerja dan berbakti untuk negara orang yang dulu memberinya suaka dan perlindungan dari pemerintahan Indonesia yang menganggapnya musuh. Tapi, Soejono memastikan rasa cintanya pada Indonesia tak luntur.

Film Pengkhianatan G30S/PKI dan Fakta Sejarah

PADA era Orde Baru (Orba), tiap tanggal 30 September, stasiun televisi nasional TVRI selalu menayangkan film Pengkhianatan G30S/PKI. Saat kali pertama rilis pada 1984, film ini bahkan wajib ditonton oleh para siswa SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) di seluruh Indonesia.
Sejak Presiden Soeharto lengser pada 1998, film garapan Arifin C Noer itu berhenti ditayangkan TVRI. Itu terjadi atas desakan sebagian kalangan masyarakat dan pihak TNI AU, yang menganggap film itu tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya. Setidaknya, ada beberapa adegan di film itu yang berlawanan dengan fakta sejarah.

DN Aidit Perokok

Dalam suatu adegan pada film tersebut, digambarkan sosok pemimpin CC PKI (Comite Central Partai Komunis Indonesia), sebagai seorang perokok. Padahal kenyataannya Aidit bukan bukan seorang pecandu tembakau. Alih-alih menggilai rokok, Aidit justru menganjurkan kawan-kawannya untuk meminimalisir rokok demi kesehatan finansial partainya. Dalam isi "Resolusi Dewan Harian Politbiro CC PKI" tertanggal 5 Januari 1959, Aidit menyerukan teman-temannya untuk menghentikan kebiasaan merokok atau setidaknya mengurangi ketergantungan pada rokok. Aidit mengatakan akan lebih bermanfaat jika uang untuk membeli rokok, dialihkan untuk dana Kongres ke-6 PKI. Murad Aidit, adik DN Aidit, mengatakan bahwa dalam keluarga kami tak ada yang merupakan pecandu rokok. Begitu pula ayah kami pun tak pernah atau jarang sekali merokok.

Perlakuan Bengis terhadap Para Jenderal

Secara gamblang, film Pengkhianatan G30S/PKI melukiskan bagaimana para perwira tinggi Angkatan Darat (AD) yang diculik ke Lubang Buaya, digambarkan mengalami penyiksaan hebat. Tubuh mereka disayat-sayat dan diperlakukan secara biadab, sebagaimana dideskripsikan diorama yang terpampang di kompleks Monumen Pancasila Sakti, Jakarta.

Bisa jadi, gambaran itu terinspirasi dari laporan-laporan berita yang dimuat Berita Yudha pada 9 Oktober 1965. Koran milik tentara itu bahkan menyebut tentang para jenderal yang dicukil matanya serta alat-alat kelamin mereka dipotong oleh para aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sebuah organ perempuan yang menjadi bagian dari PKI.

Kenyataanya tidak seperti itu. Dalam laporan visum et repertum yang didapat sejarawan Ben Anderson dan diungkapkan dalam "How did the General Dies?" jurnal Indonesia, April 1987, disebutkan bahwa keadaan jenazah hanya dipenuhi luka tembak. Dari hasil visum yang dilakukan tim yang terdiri dari dr. Lim Joe Thay, dr. Brigjen Rubiono Kertopati, dr. Kolonel Frans Pattiasina, dr. Sutomo Tjokronegoro dan dr. Liau Yan Siang itu dijelaskan tidak ada bekas penyiksaan seperti penyiletan, pemotongan alat kelamin atau pencungkilan mata. Semua organ tubuh para perwira tinggi AD itu utuh sama sekali.

Bung Karno Jatuh Sakit

Di film itu Presiden Soekarno dikisahkan tengah sakit keras. Bung Karno (yang diperankan oleh Umar Khayam) juga digambarkan selalu berjalan bolak-balik layaknya orang yang tengah kebingungan. Fakta sejarah yang sebenarnya Bung Karno kala itu sehat-sehat saja. Memang sempat ada isu beredar bahwa Bung Karno sedang sakit keras, namun kehadiran Bung Karno dalam sejumlah kegiatan seremonial (seperti pembukaan Musyawarah Nasional Teknik di Istora Senayan Jakarta pada 30 September 1965) menafikan isu itu lebih jauh beredar. Bung Karno baru benar-benar sakit setelah dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta. Perawatan yang tidak intensif membuatnya tutup usia pada Juni 1970.

Tarian Aktivis Gerwani

Salah satu adegan yang paling banyak diingat khalayak dari film itu adalah adanya "pesta besar" di Lubang Buaya lengkap dengan tarian-tarian erotis para aktivis Gerwani. Menurut penelitian Saskia Elionora Wieringa, sejatinya penggambaran itu merupakan sebentuk propaganda yang dilakukan oleh media-media cetak milik tentara yakni Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata.

Dalam penelitian yang kemudian dibukukan berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Saskia mengungkapkan bahwa Gerwani sendiri, walau punya kaitan yang sangat dekat dengan PKI, tidak terlibat langsung dalam tragedi tersebut. Dalam kesaksian Suharti, salah satu eks Gerwani yang dituliskan Saskia, Gerwani sejak awal 1965 memang sering berada di Lubang Buaya bersama sejumlah organisasi pemuda lain. Termasuk pemuda Nahdlatul Ulama (NU), Perwari, Wanita Marhaen, Wanita Islam dan Muslimat, untuk pelatihan dalam rangka persiapan konfrontasi dengan Malaysia.

Pun begitu dengan kesaksian Serma Bungkus, eks anggota Resimen Tjakrabirawa yang penculik para jenderal. Dalam buku Gerakan 30 September, Antara Fakta dan Rekayasa: Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah, Bungkus menyatakan bahwa tidak ada tarian atau pesta yang diiringi nyanyian-nyanyian di Lubang Buaya.

Peta di Ruang Kostrad

Ada pemandangan "unik" dan membingungkan dalam adegan yang menggambarkan Letnan Jenderal TNI Soeharto tengah memimpin operasi pemulihan keamanan pasca-terjadinya G30S di ruangan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Adalah peta Indonesia di ruangan tersebut jadi penyebabnya karena sudah memasukkan Timor Timur sebagai wilayah Indonesia. Sejarawan Asvi Warman Adam dalam Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa menuliskan bahwa tahun 1965/1966 Timor Timur belum terintegrasi ke dalam NKRI.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA:

Wirayudha, Randy. 2017. Film Pengkhianatan G30S/PKI dan Fakta Sejarah. historia.id

Wargadiredja, Arzia Tivany. 2017. Gestapu Menghapus Satu Generasi Intelektual Indonesia. vice.com

Faisal, Glenn. 2014. Dinamika Catatan Sejarah 30 September 1965. zenius.net

Wirayudha, Randy . 2017. Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S. Historia.Modern.id

Koten, Thomas. 2017. Inilah Sejarah Berdirinya PKI hingga Jadi Partai Terlarang. netralnews.com

Ihsan, Maulana. 2017. 1965 dan Hilangnya Satu Generasi Intelektual Indonesia. pasoendan.com

Mallarangeng, Rizal. 2008. Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992. Jakarta

Wargadiredja, Arzia Tivany. 2017. Gestapu Menghapus Satu Generasi Intelektual. Jakarta

Dinuth, Alex. 1997. Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI. Jakarta

Setiyono, Budi. 2003. Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965. Jakarta
Sulistyo, Hermawan. 2000. Palu arit di ladang tebu - Sejarah pembantaian massal yang terlupakan (1965-1966). Jakarta