Happy Weekend Sobat100,

Selamat Hari Sumpah Pemuda

Sobat100, pada artikel hari ini tim100 akan membahas tentang salah satu tokoh Pahlawan Indonesia. Beliau berjuang dengan karya, karya lagu yang beliau ciptkan berhasil membangkitkan jiwa persatuan para pemuda dari seluruh nusantara. Tokoh pahlawan Indonesia  satu ini dikenal oleh rakyat Indonesia sebagai orang yang menciptakan lagu kebangsaan Republik Indonesia. Dialah Wage Rudolf Supratman yang lahir tanggal 9 Maret 1903, Jatinegara, Jakarta. Dia terkenal sebagai pengarang lagu kebangsaan Indonesia, “Indonesia Rayaâ€.

Beliau membawakan instrument Indonesia Raya di Kongres Pemuda II yang melahirkan sumpah pemuda di tanggal 28 Oktober tahun 1928.

Biografi W.R. Soepratman

W.R. Soepratman dikenal sebagai seorang komponis yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia. Judul lagu kebangsaan tersebut adalah Indonesia Raya. Lagu tersebut berhasil membangkitkan semangat persatuan dari berbagai kalangan pejuang yang pada waktu itu masih belum benar-benar bersatu untuk meraih kemerdekaan.W.R Soepratman telah menjalani suka duka sebagai warga negara Hindia-Belanda. Sepanjang sejarah beliau, W.R Soepratman telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dengan cara yang unik dan berbeda. [1]

Kehidupan W.R. Soepratman

W.R Soepratman merupakan anak lelaki satu-satunya yang dimiliki oleh Siti Senen dan suaminya, Djumeno Senen Sastrosoehardjo. Kelima saudara kandungnya yang lain berjenis kelamin perempuan.W.R Soepratman dilahirkan dengan nama asli Wage Soepratman tepat pada jam 11 siang tanggal 09 Maret 1903 di kawasan Jatinegara, Batavia.

Nasib menempa Soepratman kecil dengan cukup keras. Ia harus kehilangan ibundanya yang menjadi sumber semangat belajar di sekolah Boedi Oetomo Jakarta di usia 6 tahun. Setelah kepergian mendiang ibundanya, ayahnya yang merupakan Sersan di ketentaraan KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger) tidak cukup mampu membiayai kehidupan seluruh anaknya dan membesarkan mereka sendirian.

Pada tahun yang menjadi ujian terberat dalam perjalanan seorang Wage kecil itu, kakak tertuanya yang bernama Roekiyem Soepratiyah telah dipinang oleh Willem Van Eldik. Nasib yang beruntung tersebut memboyong Soepratiyah ke luar Jawa mengikuti tempat tugas suaminya. Akhirnya pasangan suami istri tersebut membawa serta Wage Soepratman ke luar Jawa.[1]

Kehidupan W.R Soepratman di Makassar

Wage di mata keluarga besarnya menjadi anak emas. Dialah keturunan keluarga Senen satu-satunya yang berjenis kelamin laki-laki. Kenyataan ini menjadikannya memikul banyak harapan keluarga. Suatu saat dia harus bisa mengangkat martabat keluarganya dengan cara melanjutkan sekolah hingga ke jenjang tinggi. Untuk bisa mewujudkan harapan keluarganya itu, Wage pun menurut saja dibawa kakak iparnya dan ikut hidup bersama mereka.

Sebenarnya kakak iparnya yang bernama Belanda itu tidak memiliki darah Belanda sama sekali. Namun ia mendapatkan peruntungan nasib dengan menjabat sebagai petugas administrasi di kantor kepolisian Belanda. Karena pekerjaan inilah ia harus menurut saja perintah atasan yang mengharuskan ia pindah ke Makassar di Sulawesi Selatan.

Willem Van Eldik bergabung dalam korps musik di kantornya. Ia sangat menyukai musik, begitu juga dengan istrinya yang selain bermain dan menikmati musik, ia juga menyukai sandiwara. Sandiwara dan beberapa karya seninya banyak yang dipentaskan di daerahnya sana.

Selain mempelajari musik yang pada akhirnya menjadikan Soepratman seorang master biola dan gitar, Soepratman juga bersekolah. Hebatnya, ia bersekolah di sekolah Belanda. Hanya orang-orang pribumi tertentu sajalah yang boleh menduduki bangku ELS (Europe Large School). Soepratman berhasil menembus keketatan sekolah itu karena diakui sebagai anak oleh kakak iparnya. Untuk memperkuat pengakuan palsu tersebut, Eldik menambahkan nama "Rudolf" di tengah nama asli Wage Supratman. Yang sampai saat ini, tiga kata namanya tersebut dianggap sebagai nama asli oleh sebagian besar masyarakat. Pada akhirnya nama tersebut disingkat menjadi W.R.Soepratman.[1]

W.R.Soepratman Dikeluarkan dari Sekolah

Setelah menjalani sekolah selama beberapa waktu di ELS Makassar, pihak sekolah berhasil membuktikan bahwa Soepratman bukan anak Van Eldik. Karena kebohongan yang ditutupi itulah Soepratman harus mengalami dikeluarkan dari sekolah. Daripada menjadi pengangguran, akhirnya dengan sisa semangat sebagai pelajarnya, Soepratman muda masuk ke sekolah anak Melayu di Makassar dan mendapatkan ijazah resmi pada tahun 1917.

Semangat belajar Soepratman memang tidak bisa diragukan. Kebanyakan anak pribumi sudah merasa sangat beruntung bisa menikmati sekolah dasar dan lanjutan lalu kembali ke rumah dan membantu orangtuanya menyelesaikan pekerjaan rumah. Namun bagi Soepratman, pendidikan adalah kehidupan. Dengan dukungan dari kakak kandung dan iparnya, ia berhasil melanjutkan pendidikan kursus bahasa Belanda. Soepratman menyelesaikan kursus langka tersebut dalam waktu 2 tahun saja. Kesuksesan tersebut membawanya menyabet gelar KAE (Klein Amtenaar Examen).

Pada tahun 1920 setelah Wage sukses menjadi orang terpelajar yang dapat menguasai bahasa penjajah, ia melanjutkan ke Normaal School, sebuah sekolah keguruan yang dibuat untuk menyiapkan tenaga pendidikan dan kependidikan. Di tahun itu juga Wage menjadi founder sebuah grup musik beraliran jazz yang diberinya nama Black and White. Band jazz ini sempat menjadi trending di wilayah Makassar sampai-sampai Wage dan teman-temannya kewalahan menerima job dari orang-orang yang memiliki hajatan atau pesta. Band ini juga yang melambungkan namanya di kalangan militer Makassar.[1]

Perjalanan Karir W.R.Soepratman

Dalam perjalanannya menjadi seorang guru, Wage sempat dipindah tugaskan ke kota Singkang yang keadaannya sangat berbeda dengan Makassar. Keamanan di Singkang tidak terjamin, kehidupannya pun amat berbeda. Karena itulah Wage kemudian memaksa kembali ke Makassar. Sesampainya di Makassar ia harus mencopot pekerjaannya sebagai guru. Kemudian ia beralih profesi di Firma Nedem dan menduduki posisi lerk.

Di pekerjaannya yang kedua, ternyata Wage juga tidak dapat bertahan lama. Iapun kemudian berpindah menjadi pegawai advokat di kantor advokat milik rekan kakak iparnya. Namun rasa kangen pada keluarga besar yang ada di Jawa membuat Wage meninggalkan pekerjaannya yang ketiga. Ia pun memilih kembali ke rumah kakaknya yang kedua di Surabaya, Jawa Timur.

R.Koesnendar Kartodiredjo adalah suami dari Roekinah Soepratirah, saudara perempuannya yang tertua kedua. Di Surabaya, Wage hanya mengunjungi keluarga kakaknya yang bekerja di kantor pelayaran saja. Hari-hari selanjutnya menyuruh Wage kembali ke Jawa bagian barat untuk bertemu dengan ayah kandungnya. Tidak ada yang menginginkan kehidupan sebagai pengangguran serabutan, namun itulah yang menimpa Wage Soepratman saat berada di kampong halamannya.

Wage mencoba peruntungan lain dengan cara melamar lowongan sebagai wartawan di sebuah surat kabar yang berkantor di Bandung, Jawa Barat. Di surat kabar "Kaoem Moeda" inilah bakat musiknya kembali muncul. Ia kemudian memutuskan masuk keanggotaan sebuah grup musik. Di perjalanannya sebagai wartawan, ia bertemu dengan banyak orang. Setelah setahun menjadi wartawan, seorang rekan baru bernama Harun Harahap memiliki rencana membuat kantor berita baru yang akan bermarkas di Jakarta.[1]


W.R.Soepratman Kembali ke Jakarta

Kantor berita yang didirikan oleh Harun Harahap dinamai "Alpena". Wage ikut bekerja di kantor berita tersebut. Karena tinggal di Jakarta yang saat itu sedang dilanda semangat kepemudaan dan kebangkitan, akhirnya tumbuh suburlah jiwa nasionalisme Wage Soepratman. Ia berkenalan dengan banyak tokoh pergerakan nasional dan mulai menyiapkan diri ikut berkontribusi untuk kemerdekaan Indonesia.

Naluri kewartawanannya belum padam, malah semakin berkobar seiring ditutupnya surat kabar Alpena yang menjadi tempatnya bekerja. Wage kemudian pindah ke surat kabar Sin Po. Tugasnya sebagai wartawan Koran Sin Po menuntutnya untuk sanggup meliput segala perkembangan dalam setiap rapat pemuda pergerakan nasional. Dari sinilah kemudian ia mulai aktif terlibat dalam pergerakan nasional. Pada waktu itu usianya masih sekitar 23 tahun yang juga bisa digolongkan sebagai pemuda.
Nasiblah yang mengharuskan Soepratman hidup melarat karena telah memilih menjadi pejuang pergerakan nasional. Jika dulu di Makassar ia dekat dengan orang-orang Belanda dan mendapatkan segala fasilitas yang terkesan berlebihan, sekarang ia harus bekerja mati-matian untuk sekedar hidup di bilangan Rawamangun. Tempat tinggalnya sangat kecil, kumuh dan bahkan dibuat dari bambu.[1]

W.R.Soepratman Menjadi Buronan

Meskipun harus menderita, entah mengapa hati kecil Soepratman sangat terikat dengan kondisi perjuangan di Jawa. Tulisan-tulisannya yang diterbitkan di Sin Po semakin hari semakin terang-terangan menyudutkan pemerintahan Hindia Belanda. Iapun mulai masuk ke daftar perhatian polisi Belanda. Namun Wage masih tenang saja, ia malah menyamankan diri dengan berjualan buku-buku bekas untuk memenuhi kebutuhannya di kota besar itu. Sama sekali tidak ada rasa takut di hatinya karena menjadi perhatian Belanda.

Akibat saking seringnya ia bersinggungan dengan tokoh-tokoh nasional, tulisan Soepratman semakin menggelisahkan. Pidato menggelora dari Sang Singa Podium dan kawan-kawannya semakin mengikhlaskan hati Wage melepaskan kehidupan gemerlapnya di Makassar. Keterlibatannya dalam dunia politik dan pergerakan nasional semakin keras menempanya. Kini Wage tidak lagi membatasi diri sebagai wartawan yang mencari berita, namun juga ikut memberi sumbangan pemikiran dan pendapat-pendapat untuk kemerdekaan Hindia Belanda.[1]

W.R.Soepratman Berjuang Lewat Musik

Wage Rudolf Soepratman yang memang berjiwa seni kembali bangkit dari dunianya yang lain. Ia memberi kontribusi pada kemerdekaan melalui karya musik. Beliau menciptakan banyak lagu bernuansa persatuan. Lagu pertama yang berhasil diselesaikannya sekarang dikenal dengan judul "Dari Sabang Sampai Merauke". Dahulu ketika Soepratman menciptakannya, lagu tersebut berjudul "Dari Barat Sampai ke Timur". Lagu terakhir yang sempat dibuatnya berjudul "Matahari Terbit".

Namun lagu paling fenomenal yang membuat nyawanya terancam adalah "Indonesia Raya". Efek dari lagu Indonesia Raya tersebut benar-benar berhasil menyatukan rakyat Indonesia. Pembuktiannya bisa dilihat saat Kongres Pemuda II.Sebenarnya Indonesia Raya sudah selesai di tahun 1926 dan Wage hampir membawakannya pada Kongres Pemuda I tanggal 30 April hingga 2 Mei 1926. Sayangnya Wage muda masih kurang percaya diri. Akhirnya ia baru membawakan instrument Indonesia Raya di Kongres Pemuda II yang melahirkan sumpah pemuda di tanggal 28 Oktober tahun 1928.


Keberaniannya menguat karena Soegondo Djojopoespito menyuruhnya membawakan instrumen lagu Indonesia Raya dengan diiringi tim paduan suara "Indonesia Merdeka". Lagu tersebut berhasil membangkitkan jiwa persatuan para pemuda dari seluruh nusantara. Akhirnya lagu Indonesia Raya dinyanyikan di setiap pertemuan pergerakan nasional. Seharusnya Wage mendapatkan penghargaan dari semua pihak dan rakyat Indonesia. Namun saat itu, nyawanya semakin terancam karena Indonesia Raya semakin sering dinyanyikan. Meskipun Belanda sudah melarang menyanyikannya di luar ruangan dan menyuruh menghapus kata ‘merdeka,’ namun rakyat tidak pernah menghiraukan.[1]

Lagu Indonesia Raya

Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Republik Indonesia. Lagu ini pertama kali diperkenalkan oleh komponisnya, Wage Rudolf Soepratman, pada tanggal 28 Oktober 1928 pada saat Kongres Pemuda II di Batavia. Lagu ini menandakan kelahiran pergerakan nasionalisme seluruh nusantara di Indonesia yang mendukung ide satu "Indonesia" sebagai penerus Hindia Belanda, daripada dipecah menjadi beberapa koloni.

Stanza pertama dari Indonesia Raya dipilih sebagai lagu kebangsaan ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Indonesia Raya dimainkan pada upacara bendera. Bendera Indonesia dinaikkan dengan khidmat dan gerakan yang diatur sedemikian supaya bendera mencapai puncak tiang bendera ketika lagu berakhir. Upacara bendera utama diadakan setiap tahun pada tanggal 17 Agustus untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Upacara ini dipimpin oleh Presiden Indonesia. Setiap orang yang hadir pada saat Lagu Kebangsaan diperdengarkan dan/atau dinyanyikan, wajib berdiri tegak dengan sikap hormat. Anggota Militer berseragam lazimnya melakukan penghormatan dengan mengangkat tangan kanan pada saat lagu kebangsaan diperdengarkan/dinyanyikan.

Sejarah

Ketika mempublikasikan Indonesia Raya tahun 1928, Wage Rudolf Soepratman dengan jelas menuliskan "lagu kebangsaan" di bawah judul Indonesia Raya. Teks lagu Indonesia Raya dipublikasikan pertama kali oleh suratkabar Sin Po, sedangkan rekaman pertamanya dimiliki oleh seorang pengusaha bernama Yo Kim Tjan.
Setelah dikumandangkan tahun 1928 dihadapan para peserta Kongres Pemuda II dengan biola, pemerintah kolonial Hindia Belanda segera melarang penyebutan lagu kebangsaan bagi Indonesia Raya. Meskipun demikian, para pemuda tidak gentar. Mereka menyanyikan lagu itu dengan mengucapkan "Mulia, Mulia!" (bukan "Merdeka, Merdeka!") pada refrein. Akan tetapi, tetap saja mereka menganggap lagu itu sebagai lagu kebangsaan. Selanjutnya lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan pada setiap rapat partai-partai politik. Setelah Indonesia merdeka, lagu itu ditetapkan sebagai lagu Kebangsaan perlambang persatuan bangsa.

Namun pada saat menjelaskan hasil Festival Film Indonesia (FFI) 2006 yang kontroversial dan pada kompas tahun 1990-an, Remy Sylado, seorang budayawan dan seniman senior Indonesia mengatakan bahwa lagu Indonesia Raya merupakan jiplakan dari sebuah lagu yang diciptakan tahun 1600-an berjudul Lekka Lekka Pinda Pinda. Kaye A. Solapung, seorang pengamat musik, menanggap tulisan Remy dalam Kompas tanggal 22 Desember 1991. Ia mengatakan bahwa Remy hanya sekadar mengulang tuduhan Amir Pasaribu pada tahun 1950-an. Ia juga mengatakan dengan mengutip Amir Pasaribu bahwa dalam literatur musik, ada lagu Lekka Lekka Pinda Pinda di Belanda, begitu pula Boola-Boola di Amerika Serikat. Solapung kemudian membedah lagu-lagu itu. Menurutnya, lagu Boola-boola dan Lekka Lekka tidak sama persis dengan Indonesia Raya, dengan hanya delapan ketuk yang sama. Begitu juga dengan penggunaan Chord yang jelas berbeda. Sehingga, ia menyimpulkan bahwa Indonesia Raya tidak menjiplak.[2]

Naskah pada koran Sin Po (1928)

Lagu Indonesia Raya diciptakan oleh WR Supratman dan dikumandangkan pertama kali di muka umum pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 di Jakarta (pada usia 25 tahun), dan disebarluaskan oleh koran Sin Po pada edisi bulan November 1928. Naskah tersebut ditulis oleh WR Supratman dengan Tangga Nada C (natural) dan dengan catatan Djangan Terlaloe Tjepat, sedangkan pada sumber lain telah ditulis oleh WR Supratman pada Tangga Nada G (sesuai kemampuan umum orang menyanyi pada rentang a - e) dan dengan irama Marcia, Jos Cleber (1950) menuliskan dengan irama Maestoso con bravura (kecepatan metronome 104).

Aransemen simfoni Jos Cleber (1950)

Secara musikal, lagu ini telah dimuliakan  oleh orang Belanda (atau Belgia) bernama Jos Cleber (pada waktu itu ia berusia 34 tahun) yang tutup usia tahun 1999 pada usia 83 tahun. Setelah menerima permintaan Kepala Studio RRI Jakarta adalah Jusuf Ronodipuro sejak pada tahun 1950, Jos Cleber pun menyusun aransemen baru, yang penyempurnaannya ia lakukan setelah juga menerima masukan dari Presiden Soekarno.

Rekaman asli (1950) dan rekam ulang (1997)

Rekaman asli dari Jos Cleber sejak pada tahun 1950 dari Jakarta Philharmonic Orchestra dimainkan perekaman secara bersuara stereo di Bandar Lampung sejak peresmian oleh Presiden Soeharto sejak pada tanggal 1 Januari 1992 dan direkam kembali secara digital di Australia sejak bertepatan pada Kerusuhan Mei 1998 yang diaransemen oleh Jos Cleber yang tersimpan di RRI Jakarta oleh Victoria Philharmonic Orchestra di bawah konduktor oleh Addie Muljadi Sumaatmadja yang berkerjsama oleh Twilite Orchestra yang diletak debut album pertama oleh Simfoni Negeriku yang durasi selama 1-menit 47-detik.

Lirik Indonesia Raya

Lirik asli (1928)

INDONESIA RAJA
I
Indonesia, tanah airkoe,
Tanah toempah darahkoe,
Disanalah akoe berdiri,
Mendjaga Pandoe Iboekoe.

Indonesia kebangsaankoe,
Kebangsaan tanah airkoe,
Marilah kita berseroe:
"Indonesia Bersatoe".

Hidoeplah tanahkoe,
Hidoeplah neg'rikoe,
Bangsakoe, djiwakoe, semoea,
Bangoenlah rajatnja,
Bangoenlah badannja,
Oentoek Indonesia Raja.

II

Indonesia, tanah jang moelia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah akoe hidoep,
Oentoek s'lama-lamanja.

Indonesia, tanah poesaka,
Poesaka kita semoea,
Marilah kita mendoa:
"Indonesia Bahagia".

Soeboerlah tanahnja,
Soeboerlah djiwanja,
Bangsanja, rajatnja, semoeanja,
Sedarlah hatinja,
Sedarlah boedinja,
Oentoek Indonesia Raja.

III

Indonesia, tanah jang soetji,
Bagi kita disini,
Disanalah kita berdiri,
Mendjaga Iboe sedjati.

Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang terkoetjintai,
Marilah kita berdjandji:
"Indonesia Bersatoe"
S'lamatlah rajatnja,
S'lamatlah poet'ranja,
Poelaoenja, laoetnja, semoea,
Madjoelah neg'rinja,
Madjoelah Pandoenja,
Oentoek Indonesia Raja.

Refrain

Indones', Indones',
Moelia, Moelia,
Tanahkoe, neg'rikoe jang koetjinta.
Indones', Indones',
Moelia, Moelia,
Hidoeplah Indonesia Raja.

 

Lirik resmi (1958)

INDONESIA RAJA
I
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Disanalah aku berdiri,
Djadi pandu ibuku.

Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.

Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg'riku,
Bangsaku, Rajatku, sem'wanja,
Bangunlah djiwanja,
Bangunlah badannja,
Untuk Indonesia Raja.

II

Indonesia, tanah jang mulia,
Tanah kita jang kaja,
Disanalah aku berdiri,
Untuk s'lama-lamanja.

Indonesia, tanah pusaka,
P'saka kita semuanja,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.

Suburlah tanahnja,
Suburlah djiwanja,
Bangsanja, Rajatnja, sem'wanja,
Sadarlah hatinja,
Sadarlah budinja,
Untuk Indonesia Raja.

III

Indonesia, tanah jang sutji,
Tanah kita jang sakti,
Disanalah aku berdiri,
Ndjaga ibu sedjati.

Indonesia, tanah berseri,
Tanah jang aku sajangi,
Marilah kita berdjandji,
Indonesia abadi.

S'lamatlah rakjatnja,
S'lamatlah putranja,
Pulaunja, lautnja, sem'wanja,
Madjulah Neg'rinja,
Madjulah pandunja,
Untuk Indonesia Raja.

Refrain

Indonesia Raja,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg'riku jang kutjinta!
Indonesia Raja,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raja.

 

Lirik modern

INDONESIA RAYA[6]
I
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku.

Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.

Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg'riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.

II

Indonesia, tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya,
Di sanalah aku berdiri,
Untuk s'lama-lamanya.

Indonesia, tanah pusaka,
P'saka kita semuanya,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.

Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, Rakyatnya, semuanya,
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.

III

Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N'jaga ibu sejati.

Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia abadi.

S'lamatlah rakyatnya,
S'lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg'rinya,
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.

Refrain

Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg'riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.

Akhir Hayat W.R. Soepratman

Kejaran polisi Belanda mengharuskannya berpindah tempat tinggal terus menerus. Ia terus berusaha mempertahankan diri karena Ir. Soekarno pernah menyuruhnya terus berjuang untuk kemerdekaan dalam pertemuan di pengadilan Bandung. Selepas itu Ir. Soekarno harus mendekam dalam penjara sesuai dengan putusan hakim. Perkenalannya dengan dr. Soetomo juga semakin mengobarkan stamina perjuangannya.

Terakhir kali Wage melarikan diri ke Surabaya. Di sana ia sakit dan tidak kunjung sembuh. Namun ia masih tetap ngotot memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Saat itu polisi berhasil meringkusnya di jalan Embong Malang ketika Wage memimpin paduan suara yang disiarkan oleh NIROM (RRI). Polisi militer Belanda dengan puas menjebloskannya ke penjara Kalisosok.

Di penjara, kesehatan Wage semakin memprihatinkan. Ia dipulangkan dan takdir menghentikan penderitaannya tepat pada tanggal 17 Agustus 1938 jam 00.00 dan pasarannya Rabu Wage. Ia meninggal dengan meninggalkan pesan pada sahabatnya. Wage mengatakan dia ikhlas berjuang untuk kemerdekaan Indonesia meskipun ia belum sempat menikmati kemerdekaan, namun ia yakin suatu saat Indonesia pasti merdeka.

Tempat meninggalnya di Jalan Mangga 21 Surabaya dijadikan museum W.R. Soepratman yang menyimpan duplikat biola legendarisnya. Wage dimakamkan di TPU Kapas. Lalu berpindah ke Jalan Tambak Segaran Wetan pada tanggal 20 Mei 1953. Setelah ia diakui oleh pemerintah, makamnya kembali dipindahkan di Kenjeran pada tanggal 25 Oktober 1953.[3]

Karya W.R. Soepratman

Berikut adalah lagu-lagu hasil ciptaan Wage Rudolf Supratman:

  Dari Barat Sampai Ke Timur, diciptakan tahun 1926.

  Indonesia Raya, diciptakan tahun 1928.

  Indonesia Ibuku, tahun 1928.

  Bendera Kita Merah Putih, tahun 1928.

  Bangunlah Hai Kawan, diciptakan tahun 1929.

  R.A. Kartini (sekarang dikenal dengan judul Ibu Kita Kartini), diciptakan tahun 1929.

  Mars KBI (Kepanduan Indonesia), diciptakan tahun 1930.

  Di Timur Matahari, diciptakan tahun 1931.

  Mars Parindra, diciptakan tahun 1937.

  Mars Surya Wirawan, diciptakan tahun 1937.

  Matahari Terbit, diciptakan tahun 1938.[4]

Penghargaan W.R. Soepratman

Soepratman diberi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia dan Bintang Maha Putera Utama kelas III pada tahun 1971.

Sobat100, kehadiran musik memberi peran dan pengaruh cukup kuat dalam kehidupan manusia, masyarakat dan bangsa. Bahkan musik berfungsi sebagai medium yang bisa menjadi media perjuangan. Musik sebagai ekspresi jiwa, menjadi bagian tak terpisahkan dari ruang kesadaran penciptanya akan nilai-nilai kehidupan dan realitas sosial kondisi masyarakatnya. Sebagaimana dicontohkan lagu Indonesia Raya yang mampu membangkitkan semangat dan membangun kesadaran rakyat Indonesia bahwa di depan kita ada bangsa, ada negara, dan ada kedaulatan yang harus direbut, digenggam dan dipertahankan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA :

1. nurlaili. 2016.  Biografi W.R. Soepratman Lengkap. sejarahlengkap.com

2. Lexas. 2017. Die indonesische Nationalhymne. laenderservice.de

3. Fathimatuz Zahroh. 2018. "Profil Wage Rudolph Soepratman". merdeka.com

4. varlord. 2017.  W.R Soepratman, Indonesia, Raya. brainly.co.id